Sabtu, Mei 26, 2007

Tutup sesi ini dengan Gurindam Hamzah Fansuri

Subhanallah! Setelah membuka sesi update pagi ini dengan gurindam Hamzah Fansuri, diikuti cerita tentang Tok Kenali kemudian Tok Selehor seterusnya Sheikh Shamsuddin al-Sumatrani (yang kebetulan adalah anak murid Sheikh Hamzah Fansuri), izinkan hamba menutup gerak ini dengan sebahagian lagi gurindam Hamzah Fansuri ya... Sila baca, wassalam! :]


Wahai segala kita yang berhati
Jangan lupakan ma al-hayati
Barangsiapa tahu akan laut yang jati
Dunya akhirat tiada iya mati

Laut itulah yang bernama Ahad
Terlalu lengkap pada ashya' samad
Olehnya itulah lam yalid wa-lam yulad
Wa-lam yakun lahu kufu'an ahad

Ma' al-hayat itulah terlalu bayan
Pada kedua 'alam rupanya 'iyan
Muhitnya pada sekalian zaman
Olehnya itulah tiada iya bermakan

Jika sungguh kamu sekalian talibun
Baca : Wa'llahu khalaqakum wa-ma ta'malun
Daripada ertinya itu jangan ghafilun
Supaya jadi kamu sekalian 'alimun

Ketahui ma'na thalathatin illa
Huwa rabi'uhum Wa-la khamsatin illa sadisuhum
Wa-la adna min dhalika wa-la akthara illa Huwa ma'a-hum
Inilah ma'na Wa-Huwa ma'a-kum ayna-ma kuntum

Wa-Huwa ma'a-kum inilah ma'nanya dalam
Jangan kau pandang pada bunyi dan ragam
Pikirkan hendak siang dan malam
Supaya dapat dirimu karam

Man 'arafa nafsahu hadith daripada nabi
Fa-qad 'arafa Rabbahu pada sekalian peri
Setelah sampai mengenal diri qawi
Mangkanya dapat menjadi wali

La ilaha illa'llah ma'nanya zahir
Barang yang mungkir menjadi kafir
Di luar di dalam nentiasa satir
Manakan jauh pada sekalian nazir

La itulah yang bernama fana'
Dalamnya ithbat illa'llah al-baqa'
Mengenal Allah demikian pun kafa
Mithil ular Musa hakikatnya 'asa

Ketahui olehmu hai anak dagang
Rupamu itu seperti bayang-bayang
Menapikan diri jangan kau sayang
Supaya dapat kepada Huwa kau datang

La itulah menapikan wujud
Mengesakan sana shahid dan mashhud
Itulah Haqiqat nentiasa sujud
Pada sekalian awqat qiyam dan qu'ud

Illa'llahu di sana sempurna jamil
barang yang mendapat dia menjadi khalil
Bi-kulli shay'in muhit inilah dalil
Mengatakan lengkap rupa Rabbun jalil

Jamil itulah cahayanya terang
Pada kedua 'alam adanya senang
Barangsiapa sampai pada laut yang tenang
Dunya akhirat iyalah menang

Laut itulah yang bernama sedia
Tempatnya gha'ib terlalu sunya
Sungguh pun Tuhan yang Mahamulia
Hampirnya sangat kepada yang mengenal Dia

Hamzah Fansuri asalnya 'ali
Dengan ma' al-hayat tiada iya khali
Seperti ombak nentiasa fani
Haqiqatnya pulang ke laut Hayy al-Baqi


Sheikh Shamsuddin al-Sumatrani dan Martabat Tujuh

Ini pula adalah sebuah penulisan dalam bahasa Indonesia, mengenai Sheikh Shamsuddin al-Sumatrani yang hidup abad 16-17 Masihi. Beliau adalah Sheikhul Islam atau Mufti besar Aceh semasa zaman pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Shah Sayyid al-Mukammil (1589-1604). Beliau juga terkenal sebagai salah seorang pendokong kuat fahaman Martabat Tujuh yang dikira amat kontroversi.
Mungkin ramai yang tidak menyedari ini, ulamak yang termasuk di dalam kumpulan empat orang ulamak agung Aceh ini telah meninggal dunia dan dimakamkan di Melaka, Malaysia, bukannya di Indonesia! Ini kerana beliau dipercayai terlibat sama dalam serangan Aceh ke atas Portugis yang dilakukan tahun 1629, semasa Aceh berada di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Johan Berdaulat (1607-1636).
Makamnya masih ada lagi di Kampung Ketek, juga dikenali dengan nama Kampung Pali, tidak jauh daripada Masjid Kampung Hulu yang berusia hampir 300 tahun. Saya sendiri dapat tahu tentang kewujudan makam ini setelah diberitahu seorang kenalan ketika berehat di Pulau Besar, Melaka lebih 2 tahun lepas. Kemudian saya tergerak untuk menziarahi Muzium Islam di Bandar Hilir lalu tercatit di muzium itu bahawa Sheikh Shamsuddin memang dimakamkan di Melaka!

-------------------------

Syamsuddin Sumatrani: Sufi Legendaris dari Nangroe Aceh

Sejak lama Aceh telah dikenal sebagai satu-satunya daerah yang aksentuasi keislamannya paling menonjol. Selain menonjolnya warna keislaman dalam kehidupan sosio-kultur di sana, ternyata di Serambi Mekah ini pernah tersimpan pula sejumlah Sufi ternama semisal Samsuddin Sumatrani.

Syamsuddin Sumatrani adalah salah satu tokoh sufi terkemuka yang telah turut mengguratkan corak esoteris pada wajah Islam di Aceh. Sayangnya perjalanan hidup sang sufi ini sulit sekali untuk dirangkai secara utuh. Hal ini selain karena tidak ditemukannya catatan otobiografisnya, juga karena langkanya sumber-sumber akurat yang dapat dirujuk.

Bahkan tidak kurang peneliti seperti Prof. Dr. Azis Dahlan yang pernah mengadakan penelitian untuk disertasinya, merasa kesulitan dengan langkanya sumber-sumber mengenai tokoh sufi yang satu ini. Diantara sumber tua yang dapat dijumpai mengenai potret Syamsuddin Sumatrani adalah Hikayat Aceh, Adat Aceh, dan kitab Bustanu al-Salathin. Itupun tidak memotret perjalanan hidupnya secara terinci. Meski demikian, dari serpihan-serpihan data historis yang terbatas itu kiranya cukuplah bagi kita untuk sekedar memperoleh gambaran akan kiprahnya berikut spektrum pemikirannya.

Mengenai asal-usulnya, tidak diketahui secara pasti kapan dan di mana ia lahir. Perihal sebutan Sumatrani yang selalu diiringkan di belakang namanya, itu merupakan penisbahan dirinya kepada “negeri Sumatra” alias Samudra Pasai. Sebab memang di kepulauan Sumatra ini tempo doeloe pernah berdiri sebuah kerajaan yang cukup ternama, yakni Samudra Pasai. Itulah sebabnya ia juga adakalanya disebut Syamsuddin Pasai.

Menurut para sejarawan, penisbahan namanya dengan sebutan Sumatrani ataupun Pasai mengisyaratkan adanya dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang tuanya adalah orang Pasai (Sumatra). Dengan demikian maka bisa diduga bahwa ia sendiri dilahirkan dan dibesarkan di Pasai. Jika pun ia tidak lahir di Pasai, maka kemungkinan kedua bahwa sang ulama terkemuka pada zamannya ini telah lama bermukim di Pasai bahkan ia meninggal dan dikuburkan di sana.

Berbicara tentang peranan Sumatra sebagai pusat pengajaran dan pengembangan Islam, Negeri Pasai itu memang lebih dahulu terkemuka daripada Banda Aceh. Paling tidak Samudera Pasai lebih dulu terkemuka pada kisaran abad ke-14 dan 15 M, yakni sebelum akhirnya Pasai dikuasai oleh Portugis pada tahun 1514. Sementara beralihnya tampuk kekuasaan Negeri Pasai kepada Kerajaan Aceh Darussalam baru berlangsung pada tahun 1524.

Peranan dan Pengaruhnya

Pada masa pemerintahan Sayyid Mukammil (1589-1604), Syamsuddin Sumatrani sudah menjadi orang kepercayaan sultan Aceh. Sayang dalam kitab Bustan al-Salathin sendiri tidak disingkapkan bagaimana perjalanan Syamsuddin Sumatrani sehingga ia menjadi ulama yang paling dipercaya dalam lingkungan istana kerajaan Aceh selama tiga atau empat dasawarsa.
Syamsuddin Sumatrani wafat pada tahun 1039 H/1630 M, dan selama beberapa dasawarsa terakhir dari masa hidupnya ia merupakan tokoh agama terkemuka yang dihormati dan disegani. Ia berada dalam lindungan dan bahkan berhubungan erat dengan penguasa Kerajaan Aceh Darussalam.
Syamsuddin Sumatrani adalah satu dari empat ulama yang paling terkemuka. Ia berpengaruh serta berperan besar dalam sejarah pembentukan dan pengembangan intelektualitas keislaman di Aceh pada kisaran abad ke-l7 dan beberapa dasawarsa sebelumnya. Keempat ulama tersebut adalah Hamzah Fansuri (?-?), Syamsuddin Sumatrani (?-1630), Nuruddin Raniri (?-1658), dan Abdur Rauf Singkel (1615/20-1693). Mengenai ada tidaknya hubungan antara Syamsuddin Sumatrani dengan ketiga ulama lainnya, ada baiknya disinggung seperlunya.

Mengenai hubungan Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin Sumatrani, sejarawan A. Hasjmy cenderung memandang Syamsuddin Sumatrani sebagai murid dari Hamzah Fansuri. Pandangannya ini diperkuat dengan ditemukannya dua karya tulis Syamsuddin Sumatrani yang merupakan ulasan (syarah) terhadap pengajaran Hamzah Fansuri. Kedua karya tulis Syamsuddin Sumatrani itu adalah Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol.

Adapun hubungannya dengan Nuruddin ar-Raniri, hal ini tidak diketahui secara pasti. Yang jelas adalah bahwa tujuh tahun setelah Syamsuddin Sumatrani wafat, Raniri memperoleh kedudukan seperti sebelumnya diperoleh Syamsuddin Sumatrani. Ia diangkat menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1637 oleh Sultan Iskandar Tsani. Karena fatwanya yang men-zindiq-kan (mengkafirkan) paham wahdatul wujud Syamsuddin Sumatrani, maka para pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dihukum oleh pihak penguasa dengan hukuman bunuh. Bahkan literatur-literatur yang mereka miliki dibakar habis. Namun demikian, para pengikut paham Sumatrani itu ternyata tidak punah semuanya.

Pada kisaran tahun 1644 Raniri disingkirkan dari kedudukannya selaku mufti kerajaan Aceh Darussalam. Ia pun terpaksa pulang ke Ranir, Gujarat. Sebagai penggantinya, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675) kemudian mempercayakan jabatan mufti kerajaan kepada Saifur Rijal. Saifur Rijal adalah seorang Minang yang juga penganut paham wahdatul wujud. Pada waktu itu ia baru pulang kembali ke Aceh dari pendalaman kajian agama di India. Dengan demikian, paham tasawuf Syamsuddin Sumatrani itu kembali mewarnai corak keislaman di Kerajaan Aceh Darussalam.

Karya-karyanya

Dari hasil penelitian Prof. Dr. Azis Dahlan diketahui adanya sejumlah karya tulis yang dinyatakan sebagai bagian, atau berasal dari karangan-karangan Syamsuddin Sumatrani, atau disebutkan bahwa Syamsuddin Sumatrani yang mengatakan pengajaran itu. Karya-karya tulis itu sebagian berbahasa Arab, sebagian lagi berbahasa Melayu (Jawi). Diantara karya tulisnya yang dapat dijumpai adalah sebagai berikut:

1. Jawhar al-Haqa'iq (30 halaman; berbahasa Arab), merupakan karyanya yang paling lengkap yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze. Kitab ini menyajikan pengajaran tentang martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

2. Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah (8 balaman; berbahasa Arab). Karya yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze ini, kendati relatif singkat, cukup penting karena mengandung penjelasan tentang perbedaan pandangan antara kaum yang mulhid dengan yang bukan mulhid.

3. Mir’at al-Mu'minin (70 halaman; berbahasa Melayu). Karyanya ini menjelaskan ajaran tentang keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, para malaikat-Nya, hari akhirat, dan kadar-Nya. Jadi pengajarannya dalam karya ini membicarakan butir-butir akidah, sejalan dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama'ah (tepatnya Asy'ariah-Sanusiah).

4. Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri (24 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah Fansuri. Isinya antara lain menjelaskan pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud).

5. Syarah Sya'ir Ikan Tongkol (20 balaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan (syarh) terbadap 48 baris sya'ir Hamzah Fansuri yang mengupas soal Nur Muhammad dan cara untuk mencapai fana' di dalam Allah.

6. Nur al-Daqa'iq (9 halaman berbahasa Arab; 19 halaman berbahasa Me1ayu). Karya tulis yang sudah ditranskripsi oleh AH. Johns ini (1953) mengandung pembicaraan tentang rahasia ilmu makrifah (martabat tujuh).

7. Thariq al-Salikin (18 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini mengandung penjelasan tentang sejumlah istilah, seperti wujud, 'adam, haqq, bathil, wajib, mumkin, mumtani’ dan sebagainya.

8. Mir’at al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur (12 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah, martabat tujuh dan tentang ruh.

9. Kitab al-Harakah (4 halaman; ada yang berbahasa Arab dan ada pula yang berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah atau martabat tujuh.


Ajaran Tasawufnya

Syamsuddin Sumatrani dikenal sebagai seorang sufi yang mengajarkan faham wahdatul wujud (keesaan wujud) dengan mengikuti faham wahdatul wujud Ibnu Arabi. Istilah wahdatul wujud itu sendiri sebenarnya bukan diberikan oleh Ibnu Arabi sendiri. Artinya, Ibnu Arabi tidak pernah menyatakan bahwa sistem pemikiran tasawufnya itu merupakan paham wahdatul wujud.

Dari hasil penelitian WC. Chittick, Sadr al-Din al-Qunawi (w. 673/1274) adalah orang pertama yang menggunakan istilah wahdatul wujud, hanya saja al-Qunawi tidak menggunakannya sebagai suatu istilah teknis yang independen. Selain al-Qunawi, masih banyak lagi yang menggunakan istilah wahdatul wujud. Namun tokoh yang paling besar peranannya dalam mempopulerkan istilah wahdatul wujud adalah Taqi al-Din Ibn Taymiyyah (w. 728/1328). Ia adalah pengecam keras ajaran Ibnu Arabi dan para pengikutnya.

Di antara kaum sufi yang mengikuti jejak pemikiran Ibnu Arabi tersebut adalah Syamsuddin Sumatrani. Pengajaran Syamsuddin Sumatrani tentang Tuhan dengan corak paham wahdatul wujud dapat dikenal dari pembicaraannya tentang maksud kalimat tauhid la ilaha illallah, yang secara harfiah berarti tiada Tuhan selain Allah. Ia menjelaskan bahwa kalimat tauhid tersebut bagi salik (penempuh jalan tasawuf) tingkat pemula (al-mubtadi) dipahami dengan pengertian bahwa tiada ada ma’bud (yang disembah) kecuali Allah.

Sementara bagi salik yang sudah berada pada tingkat menengah (al-mutawassith), kalimat tauhid tersebut dipahami dengan pengertian bahwa tidak ada maksud (yang dikehendaki) kecuali Allah. Adapun bagi salik yang sudah berada pada tingkat penghabisan (al-muntaha), kalimat tauhid tersebut difahami dengan pengertian bahwa tidak ada wujud kecuali Allah.
Namun ia mengingatkan bahwa terdapat perbedaan prinsipil antara pemahaman wahdatul wujud dari para penganut tauhid yang benar (al-muwahhidin al-shiddiqin), dengan paham wahdatul wujud dari kaum zindiq penganut panteisme. Di lihat dari satu sisi, kedua pihak itu memang nampak sependapat dalam menetapkan makna kalimat tauhid la ilaha illallah, yakni tiada wujud selain Allah, sedang wujud segenap alam adalah bersifat bayang-bayang atau majazi. Tetapi sebenarnya kedua belah pihak memiliki perbedaan pemahaman yang sangat prinsipil. Bagi kaum panteisme yang zindiq alias sesat, mereka memahaminya bahwa wujud Tuhan itu tidak ada, kecuali dalam kandungan wujud alam. Jadi bagi kalangan panteis ini, segenap wujud alam adalah wujud Tuhan dan wujud Tuhan adalah wujud alam (baik dari segi wujud maupun dari segi penampakannya).

Jadi para penganut paham panteisme itu mengidentikkan Tuhan dengan alam. Mereka menetapkan adanya kesatuan hakikat dalam kejamakan alam tanpa membedakan antara martabat Tuhan dengan martabat alam. Paham demikian menurut Syamsuddin Sumatrani adalah paham yang batil dan ditolak oleh para penganut tauhid yang benar.

Bagi Syamsuddin Sumatrani, sebagaimana faham Ibnu Arabi, asdalah Keesaan Wujud berarti tidak ada sesuatu pun yang memiliki wujud hakiki kecuali Tuhan. Sementara alam atau segala sesuatu selain Tuhan keberadaannya adalah karena diwujudkan (maujud) oleh Tuhan. Karena itu dilihat dari segi keberadaannya dengan dirinya sendiri, alam itu tidak ada (ma’dum); tetapi jika dilihat dari segi “keberadaannya karena wujud Tuhan” maka jelaslah bahwa alam itu ada (maujud).

Dengan demikian martabat Tuhan sangat berbeda dengan martabat alam. Hal ini diuraikan dalam ajarannya mengenai martabat tujuh, yakni satu wujud dengan tujuh martabatnya. Tulisnya:

I’lam, ketahui olehmu bahwa (se)sungguhnya martabat wujud Allah itu tujuh martabat; pertama martabat ahadiyyah, kedua martabat wahdah, ketiga martabat wahidiyyah, keempat martabat alam arwah, kelima martabat alam mitsal, keenam martabt alam ajsam dan ketujuh martabat alam insan.

Maka ahadiyyah bernama hakikat Allah Ta’ala, martabat Dzat Allah Ta’ala dan wahdah itu bernama hakikat Muhammad, ia itu bernama sifat Allah, dan wahidiyyah bernama (hakikat) insan dan Adam ‘alaihi al-Salam dan kita sekalian, ia itu bernama asma Allah Ta’ala, maka alam arwah martabat (hakikat) segala nyawa, maka alam mitsal martabat (hakikat) segala rupa, maka alam ajsam itu martabat (hakikat) segala tubuh, maka alam insan itu martabat (hakikat) segala manusia. Adapun martabat ahadiyyah, wahdah dan wahidiyyah itu anniyyat Allah Ta’ala, maka alam arwah, alam mitsal alam ajsam dan alam insan itu martabat anniyyat al-makhluk.

Atas uraian Syamsuddin Sumatrani tersebut Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan memberikan ulasan: terhadap tiga martabat pertama yang disebutnya dengan ‘anniyyat Allah, maksudnya adalah martabat wujud aktual Tuhan; Sedang terhadap empat martabat berikutnya yang disebut martabat anniyyat al-makhluk, maka yang dimaksudkannya adalah wujud aktual makhluk.

Dengan demikian, tiga martabat pertama adalah qadim (dahulu tanpa permulaan) dan baqa (kekal tanpa kesudahan); Sedang empat martabat berikutnya disebut muhdats (yang dijadikan/diciptakan). Karena itu pula istilah ‘alam tidak digunakan untuk tiga martabat pertama, tapi jelas dipergunakan untuk empat martabat berikutnya. Dari semua itu dapatlah dipahami bahwa martabat ketuhanan itu tidak lain dari tiga martabat pertama, sedang martabat alam atau makhluk mengacu pada empat martabat berikutnya. Wallahu A’lam.

Tok Selehor

Ini pula adalah sebuah penulisan mengenai Tok Selehor, seorang lagi ulamak besar Kelantan yang dikatakan bertaraf wali Allah, hidup sezaman dengan almarhum Tok Kenali...

-----------------

TOK SELEHOR (1871-1935)

OLEH: USTAZ ISMAIL AWANG

TOK SELEHOR adalah seorang ulama’ yang telah memasyhurkan nama sebuah kampung pedalaman di jajahan Tumpat kerana ilmu pengetahuan yang disebarkan kepada para pelajar yang membina pondok-pondok di Kampung Selehor (Kini kampung ini lebih dikenali dengan nama Kampung Kok Pasir). Murid Tok Selehor bukan sahaja dikalangan penduduk tempatan tetapi juga mereka yang datang dari Patani, Kemboja, Pelembang, Jawa, Siak dan seluruh Tanah Melayu. Beliaulah ulama semasa dengan Tok Kenali bahkan dikenali sebagai ulamak' lima serangkai yang paling masyhur di kalangan rakyat Kelantan. Mereka ialah Tok Selehor (1871-1935) dari Tumpat, Tok Kenali (1868-1933) dari Kota Bharu, Tok Bachok (1860-1953) dari Bachok, Tok Jelapang(1861-1934 dari Pasir Mas dan Tok Kemuning(1885-1934) dari Machang.
Pengenalan
Nama penuhnya ialah Haji Abdul Rahman bin Haji Uthman bin Senik. Dilahirkan di Kampung Lubuk Jong, (di kawasan pondok Selehor) di pinggir Sungai Selehor oleh ibunya Mek Wi binti Muhammad Amin pada tahun 1871*. Beliau diasuh dan dibesarkan di kampung itu dengan mandian air sungai Selehor yang tenang dan masam kelat.(PH kurang daripada 6)
Pada zaman itu, di Kelantan pengajian al-Quran dipandang sesuatu perkara yang amat mustahak. Muda-mudi yang tidak menghabiskan al-Quran 30 jujuk itu dipandang dengan suatu pandangan hina dan sukar untuk mendapat pasangan. Bagi Tok Selehor beliau beruntung besar kerana bapanya seorang guru al-Quran yang menyebabkan beliau dapat menghabiskan pengajian al-Quran dengan bapanya sendiri.

Belajar di Patani

Ayah Tok Selehor , Haji Uthman bin Senik mempunyai cita-cita besar supaya anaknya menjadi seorang ulama' kerana pada pandangannya anak yang soleh itu akan dapat memberi faedah yang besar kepadanya, sama ada ketika masih hidup apatah lagi setelah dia meninggal dunia. Kerana hasratnya itulah beliau telah menghantar anaknya belajar di Sungai Pinang kepada Tuan Guru Haji Abdul Malek. Tidak lama di sini, beliau menyambung pelajarannya ke Patani.
Di sana beliau belajar daripada Tuan Guru Haji Abdul Rashid, Kuala Bekah. Tetapi oleh kerana Haji Abdul Rashid ditangkap oleh kerajaan Thai sebab dibimbangkan pengaruhnya yang besar itu menimbulkan masalah politik di Selatan Thai. Beliau menyambung pelajarannya pula dengan Tuan Guru Haji Abdullah Bendang Jong. Tok Selehor belajar di Patani selama kira-kira tujuh tahun. Demikian dinyatakan oleh Tuan Guru Haji Che Mamat bin Sharif, Kampung Kok Keli (Kampung berjiranan di sebelah Utara ) yang menjadi murid Tok Selehor selama lebih lapan belas tahun.
Semasa belajar di Patani beliau pernah berulang-alik balik ke Kelantan dengan berjalan kaki. Sepanjang perjalanannya beliau tidak gentar kepada musuh-musuh dan penyamun yang berada di Bukit Tanjung dan beberapa tempat lain kerana beliau pandai bersilat dan pandai bermain keris.

Minat Dalam Sastera

Minatnya kepada seni silat menjalar kepada seni sastera sehingga Tok Selehor menjadi cenderung membaca buku-buku sastera lama berbentuk syair seperti Hikayat Siti Zubaidah, Dandan Setia dan sebagainya. Beliau pandai pula membaca dengan lagu-lagunya yang merdu. Tambahan pula suara beliau sangat merdu serta dapat menarik minat umum untuk mendengar kemerduan irama suaranya ketika bersyair. Tok Selehor bukan sekadar pandai mendendangkan syair tetapi juga pandai mengarang syair. Kepandaian Tok Selehor mengarang syair pada ketika itu tiada sesiapa yang dapat menandinginya. Oleh kerana kebolehannya yang agak luar biasa itu, namanya menjadi masyhur dan beliau pernah diminta mengarang syair romantis. Lantaran syairnya beberapa orang isteri yang dibencikan suami kembali berdamai setelah menerima surat syair yang ditulis oleh Tok Selehor. Antara syair yang sangat berpengaruh yang masih diingati oleh Tuan Guru Haji Che Mamat bin Sharif, Che Yim dan Che Abdullah di Kampung Kok Pasir, Tumpat. (Kini Selehor adalah sebahagian daripada Kampung Kok Pasir).

Tiap-tiap malam kanda bermimpi
Adinda di tengah kanda di tepi
Menghisap rokok meminum kopi
Memeluk tengkuk mencium pipi.
Sedap rasanya tiada terperi
Harum baunya umpama kasturi
Suka dan hilai senang di hati
Kasih mesra sehingga mati.

Kahwin dan ke Mekah

Ketika masih belajar di Patani lagi beliau berkahwin dengan wanita pilihan keluarga iaitu Wan Halimah binti Dollah, tetapi perkahwinan itu langsung tidak menjejaskan pelajarannya malah tambah mendorong lagi beliau belajar dengan lebih bersungguh-sungguh. Setelah mendapat tiga orang anak iaitu Haji Mohamad, Kalsum dan Abu Bakar beliau pulang ke Kelantan. Sekembalinya ke Kelantan dari Patani beliau menyambung pelajarannya di Mekah selama kira-kira lapan belas tahun. Menurut Tuan Guru Haji Abdullah bin Haji Hussin (Haji Lah Hutan Pasir), bahawa Tok Selehor sempat belajar di Mekah dengan Pak Cik Daud, mertua kepada Pak Da Ail, seorang guru bangsa Melayu yang masyhur di Mekah. Disebabkan catatan-catatan dan penerangan yang ditulis oleh Tok Selehor menarik perhatian Tok Kenali maka Tok Kenali telah memimjam kitab Musalli untuk mengajar murid-muridnya.
Ketika berada di Mekah Tok Selehor telah berkahwin dengan Hajjah Aishah binti Haji Mahmud dari Penambang, Kota Bharu. Tidak lama setelah pulang ke Kelantan mereka berpisah. Kemudian Tok Selehor berkahwin dengan Hajjah Mek binti Mat Saman dari Lambor Wakaf Bharu yang termasyhur dengan kecantikannya pada ketika itu. Hasil daripada perkahwinannya dengan Hajjah Mek, Tok Selehor telah dikurniakan dua orang anak perempuan iaitu Hajjah Khadijah isteri kepada Tuan Guru Haji Ahmad Batu Tiga, (ibu dan ayah kepada Dato' Dusuki Hj. Ahmad)
Manakala anak perempuan keduanya bernama Hajjah Maimunah. Tok Selehor berkahwin lagi dengan Che Bidah binti Hj. Umar dari Penambang Kota Bharu. Setelah itu beliau berkahwin pula dengan Che Chik binti Che Man dan hasil daripada perkahwinan ini beliau dikurniakan seorang anak perempuan yang diberi nama Aisyah, isteri kepada Tuan Guru Haji Awang Jal.

Membuka Pondok

Setelah kembali dari mekah, Tok Selehor membuka pondoknya di tepi Sungai Selehor, dipercayai pada tahun 1340H. Beberapa tahun saja selepas penubuhan, pondok Tok Selehor berkembang dengan pesat sekali dengan penyertaan daripada pelajar dari dalam dan luar negeri. Pelajar-pelajar pondok Tok Selehor bukan saja terdiri daripada anak tempatan , tetapi juga mereka yang datangnya dari Johor, Melaka, Pulau Pinang, Pahang, Palembang, Jawa, Siak dan sebagainya. Bagi keperluan air bersih yang mencukupi, Tok Selehor telah mengali sebuah telaga besar pada tahun 1343H. Sehingga kini ( November 1999) telaga itu masih wujud dengan disesuaikan oleh waris beliau yang tinggal di Selehor.
Mengajar
Tok Selehor mempunyai kebolehan dalam pelbagai bidang ilmu pengetahuan, tetapi sangat diminatinya ialah bidang tasawwuf. Kitab Hikam oleh Ibn Ataillah merupakan kitab yang paling disukai diajarkan kepada muridnya dan orang ramai. Mungkin Tok Selehor mendapati kitab ini mendorong manusia membaiki diri dan mendampingi diri kepada Allah serta menjauhi dari sifat-sifat terkeji seperti sombong, hasad dengki, ria, sum'ah dan sebagainya.
Tok Selehor menyampaikan ajarannya begitu dimesrai oleh para pendengarnya. Pengajarannya tidak menjemukan walaupun disampaikan berulang-ulang kali. Menurut Tuan Guru Haji Hassan Ahmad: " Saya tidak pernah mendengar orang mengajar yang lebih manis dan mesra yang dapat menandingi pengajaran Tok Selehor."
Ketika membicarakan tentang dosa maka Tok Selehor menyampaikan dengan begitu berkesan sekali sehinggakan ada di kalangan pendengarnya yang menanggis kerana takut dan insaf dengan ajaran-ajaran itu. Pada setiap hari Selasa Tok Selehor mengajar untuk mesyarakat umum dan pada hari itu berduyun-duyunlah manusia datang ke pondok selehor dengan berjalan kaki, walaupun berpuluh-puluh batu jauhnya. Disebabkan sukakan pengajaran Tok Selehor mereka tetap datang walaupun terpaksa merempuhi hujan dan panas terik.
Kebanyakan orang yang datang mendengar Tok Selehor mengajar ialah dari Pasir Pekan, Wakaf Bharu, Palekbang, Kelong, Tumpat, Bunohan, Telaga Bata, Geting dan sebagainya sehingga Pondok Selehor menjadi seakan pekan kecil atau pasar minggu. Demikian dijelaskan oleh Pak Su Ismail bin Haji Abdul Rahman, bekas imam Tua Mukim Delima, Wakaf Bharu, yang juga seorang murid Tok Selehor.
Selain daripada mengajar di Selehor, Tok Selehor juga pernah mengajar di Wakaf Bharu, dan salah satu tempat beliau mengajar menjadi tapak kepada Masjid Wakaf Bharu. Di Wakaf Bharu tidak kurang juga ramai pendengar yang datang untuk mendengar ajaran Tok Selehor.
Tok Selehor juga suka membaca kisah Isra dan Mi'raj. Ketika beliau membaca kisah itu terasa benarlah kemesraan orang ramai terhadap nabi Muhammad s.a.w. dan ada orang terpaksa memanjat batang kelapa untuk melihat Tok Selehor yang sedang mambaca Isra' dan Mi'raj itu. Kebanyakan orang yang datang mendengar pengajaran Tok Selehor telah berubah dari tidak pernah sembahayang kepada sembahayang, dari berperangai jahat kepada berperangai baik dari seorang yang nakal kepada seorang yang insaf. Sehingga kampung Selehor yang dulunya banyak amalan pemujaan hantu-hantu dan lain-lain amalan khurafat hapus sama sekali.
Perayaan Maulid al-Nabi
Tok selehor pernah mengadakan perayaan maulid al-Nabi secara besar-besaran dan dialah ulama Kelantan yang mempelopori perayaan seperti itu. Berzanji dibaca dengan penuh perasaan. Perarakan besar-besaran diadakan. Pernah beribu-ribu orang datang ke majlis perayaan maulid anjurannya. Hal ini pernah dikritik oleh akhbar-akhbar di zaman itu, tetapi beliau tidak juga berhenti kerana beliau ingin menanam rasa cinta umat kepada nabi yang penuh tenaganya berjuang menyebarkan Islam. Dengan cara ini anak-anak pondok lebih cepat bermera dengan ajaaran Nabi dari hanya menyampaikan kisah tanpa diadakan gerak kerja.

Kegemarannya

Tok Selehor sebagai seorang peminat seni iaitu beliau begitu gemar kepada perkara yang cantik-cantik. Beliau sukakan kuda yang cantik, biri-biri jantan yang cantik, dan suka kepada ayam jantan laklung (berkokok dengan suara yang merdu dan panjang). Selain itu hobinya ialah suka memburu rusa dan memukat ikan. Beliau pernah keluar memukat ikan di kuala Tumpat dan sebagainya. Istimewanya ikan-ikan yang diperolehi itu dibahagikan kepada penduduk di sekitar pondoknya dan kepada anak-anak pondoknya.

Bersuluk

Tok Selehor adalah seorang yang Zahid dan Wara'. Beliau bimbang hatinya menjadi angkuh kerana terlalu dipuja dan takut menjadi ria. Oleh itu beliau mengadakan suatu lubang di atas Kubur Selehor untuk tempat sembahayang dan tempat berkhalwat. Lubang yang dikenali sebagai suluk ini masih kekal hingga ke hari ini. Hj. Che Mamat Sharif menerangkan bahawa Tok Selehor berkata kepadanya tujuan dibuat lubang di dalam tanah itu supaya hati menjadi kecut dan sentiasa ingat kepada mati.
“Inilah sebenarnya suatu langkah untuk benar-benar insaf dan mendekatkan diri kepada mati ialah dengan berkhalwat di dalam lubang terutama di atas kubur dan kerana di sana akan dirasai bagaimana hidup seorang diri di dalam tanah itu dan akan lahirlah perasaan ingin membuat bekal untuk menghadapi mati supaya tidak menyesal kemudiaan.”

Kawan Baik Tok Kenali

Tok Selehor adalah kawan baik Tok kenali. Sebab itu perhubungan mereka sering terjalin dan pernah mereka mengadakan perbincangan-perbincangan dalam usaha mengembangkan Islam. Tok Kenali mengelarnya sebagai "Penyair Kita". Mengikut keterangan Tuan Guru Encik Ismail Ali (pak Su Wail) Kampung Danggar, bahawa beliau bersama-sama melawat kematian Tok kenali dan pergi ke kubur bersama-sama Tok Selehor pada tahun 1933M.
Tok Selehor telah menyuruh beliau mengamalkan wirid wali tujuh dan supaya sentiasa membaca ayat Al-Kursi. Encik Ismail yang sempat belajar selama 15 tahun dengan Tok Selehor itu menjelaskan bahawa Tok Selehor seorang Zahid, wara, dan tawadhu; tidak banyak bercakap sia-sia dan suka beribadat.

Berburu di Tempat Puaka

Pada suatu hari pada tahun 1935M, Tok Selehor pergi memburu rusa sebagaimana kegemarannya, biasanya di Selatan Thai. Tetapi pada kali ini dia pergi berburu dekat Gual Periuk suatu tempat yang dianggap berpuaka. Tok Selehor tidak takut sedikitpun. Semasa berburu beliau mengunakan pipit pemanggil rusa. Setelah ditiup pipit itu maka rusa pun datang dan ketika itulah rusa dapat ditembak dan disembelih. Sebab itu Tok Selehor tidak hampa ketika memburu rusa. Demikian dijelaskan oleh Tuan Guru Haji Abdullah Husain dan Encik Mamat bin Senik, Selehor.

Yu Besar di Pengkalannya

Selepas tiga hari pulang dari memburu rusa, seekor ikan yu yang besar yang belum pernah dilihat oleh penduduk Selehor muncul dan timbul di pengkalan tempat mandi Tok Guru Selehor. Selepas beberapa hari ikan itu berada di Sungai Selehor, kemudian keluar semula ke laut . Dua hari kemudian datang kumpulan burung gagak dengan ramainya sehingga orang ramai hairan melihat peristiwa itu kerana tidak mengetahui apakah maksudnya.
Beberapa hari selepas itu Tok Selehor ditimpa sakit kepala. Walaupun diubati tidak juga sembuh. Selepas lapan hari, iaitu pada malam Khamis 18 Zulkaedah 1353, bersamaan 20 Februari 1935 jam 8.30 malam dia pun meninggal dunia dalam usia 64 tahun. (Pengasuh bil 459 ).

Kata-kata Tok Kenali

Kata-kata yang dikutip ini merupakan ulasan sidang pengarang majalah Pengasuh terhadap wali Allah yang sangat terkenal di Kelantan itu. Kebetulan majalah itu sendiri asalnya diterbitkan atas usaha Tok Kenali suatu masa dahulu!

-----------------

TOK KENALI (1868 – 1933)

Ketika kami Sidang Pengarang memilih "Tok Kenali" sebagai penghormatan untuk menghiasi kulit keluaran pertama majalah Pengasuh 1975, maka pemilihan itu bukan saja kami landaskan atas asas ketokohan ulung beliau sebagai ulama besar di zamannya, malah kami landaskan juga atas fakta beliau selaku pendorong dan pengasas majalah Pengasuh yang diterbitkan bagi pertama kalinya pada tahun 1918. Majalah Pengasuh adalah sama tua dengan majalah "Seri Pustaka" Indonesia yang diterbitkan dalam tahun 1918 oleh Balai Pustaka dan di Malaysia majalah Pengasuh merupakan majalah tertua yang kedua sesudah majalah Al-Imam yang diterbitkan oleh Syed Sheikh bin Ahamad Al-Hady pada tahun 1906.
Walaupun Tok Kenali bukan seorang penulis yang konsisten seperti Syed Sheikh , namun beliau adalah seorang penulis yang mempunyai gaya penulisan yang gagah dan jelas. Seandainya beliau tidak dihambatkan oleh tugas-tugas yang banyak dan terus menulis dengan tekun, beliau tidak syak lagi dapat dideretkan sejajar dengan tokoh-tokoh besar yang merintis alam penulisan tanahair.
Tok Kenali sejak dari muda lagi meminati pembacaan dan menaruh pandangan yang begitu tinggi berhadap tugas-tuga penulis dan peranan majalah-majalah adan suratkhabar-suratkhabar selaku mass media yang berpengaruh untuk menyatupadukan umat Melayu dan atas kesedaran itulah beliau tampil mempelopori usaha memimpin majalah Pengasuh yang diterbitkan oleh Majlis Ugama Islam walaupun dapatlah kita teliti dari pernyataan-pernyataan belau yang tegas dalam tulisannya di bilangan pertama Pengasuh. Antara lain beliau menulis :
"Telah mengakulah saya bahawa saya ini tiada daripada kuda medan ini. Sekiranya jika ada orang yang mengangkatkan pekerjaan saya ini terhentilah saya, kerana bukan tujuannya saya hendak menunjukkan kebijakan dan mencari kepujian, kerana adalah orang yang mengarang itu jadi kikit bagi sekalian penembak. Jika tidak ia pejam matanya nescaya mati ia kerana dukacita, tetapi adalah dituntut daripada seseorang itu manfaatnya atau mudharatnya, beranilah saya menceburkan diri di dalam laut api yang sentiasa bernyala-nyala. Selama ada angan-angan yang baik itu tiadalah puas hati saya mati sebelum saya lihat perubahan yang baru dan elok."
"Tatkala saya ketahui bahawasanya tiada ada orang yang boleh jadi utusan yang usaha pada menghimpunkan antara anak Melayu kita ini, maka cintalah saya dengan harapan bahawa diadakan pada tiap-tiap buah negeri di dalam Semenanjung Tanah Melayu kita ini sekurang-kurangnya satu suratkhabar yang dipunyai oleh anak-anak negeri sendiri supaya menempati ia utusan yang bijaksana menyeru kepada bersekutu dan bersatu pada tiap-tiap pekerjaan yang mendatangkan muslihat bagi watan, bangsa dan ugama."
"Cuba anakku tilik cerah matahari kelebihan orang yang telah dapat kemenangan kerana amalan kebajikan dan pandangan kelam orang yang telah jatuh kerana amalan yang kejahatan, maka di situlah "Pengasuh" bertimpuh (duduk) membedakkan sekalian yang hadhir dengan bedak pengharapan, mudah-mudahan subur sekalian dengan darah dan daging yang boleh mengkhidmatkan tanahair dan menunjukkan kepada Raja."
Tok Kenali satu-satunya ulama kesayangan semua lapisan rakyat yang tiada tolok bandingnya. Kisah hidup beliau merupakan legenda-legenda yang diperkatakan mereka di segenap pelosok negeri hingga ke zaman ini.
Beliau menjadi begitu popular bukan sahaja kerana ilmu pengetahuan ugamanya yang tinggi dan akal fikirannya yang tajam dan bijaksana, malah kerana sifat-sifat kejujuran , rendah diri, peramah, pemurah, cara hidupnya yang zahid, bersahaja dan darwis iaitu sifat-sifat yang menjadi pakaian hidupnya sejak sebagai seorang pelajar di kota suci Makkah hingga sebagai ulama terbilang di tanahairnya. Beliau melayani yang bodoh sama dengan beliau melayani yang cerdik, beliau menghormati kanak-kanak sama dengan beliau menghormati orang-orang dewasa. Beliau tidak pernah menghampakan pemberian dan jemputan dari siapa saja. Dan jika diberi, maka pemberian-pemberian itu akan dibahagikan pula kepada orang-orang sekelilingnya dan apabila dijemput maka beliau akan tampil menjadi tukang masak. Inilah sifat-sifat dan cara-cara hidup beliau yang membuat setiap orang yang berhubung dengan beliau menyimpan kenangan-kenangan yang indah terhadapnya.
Tok Kenali adalah diantara tokoh-tokoh ulama yang telah diabadikan oleh rakyat Kelantan dengan gelaran "Tok" yang digandingkan dengan nama-nama tempat atau kampung di mana ulama-ulama itu datang, lahir, belajar atau kampung di mana ulama-ulama itu datang, lahir, belajar atau menaburi bakti mereka. Gelaran itu merupakan kemuncak penghormatan yang mencermin ketokohan dan kemasyhuran yang meluas. Diantara ulama-ulama itu Tok Khurasan, Tok Bachok, Tok Kemuning, Tok Selehor, Tok Mesir dan lain-lain. Tuan Tabal juga termasuk ulama yang diabadikan dengan nama sebuah kampung.
Tetapi Tok Kenali bukanlah sekadar menjadi lambang kemegahan tempatan Kelantan, malah kemasyhuran. Beliau menjangkau jauh di luar perbatasan Malaysia. Beliau dapatlah didirikan sejajar dengan tokoh-tokoh Nusantara lain yang berjasa di zamannya memberi sesuatu sumbangan yang berkesan kepada masyarakatnya.
Walaupun Tok Kenali tidak meninggal hasil-hasil karya yag besar dalam mana-mana bidang pengajian Islamiah, namun jasa beliau yang paling besar ialah kejayaannya melahirkan satu angkatan ulama yang memegang obor pengajian tinggi Islam bukan di negeri Kelantan dan Malaya, malah di Thailand, Kemboja dan Indonesia di separuh pertama abad dua puluh. Beliau juga telah berjaya membawa kemuncak pengajian tatabahasa Arab, nahu saraf, balaghah dan ‘arudh di dalam sistem pelajaran Pondok di negeri ini. Keahlian beliau dalam bidang-bidang itu merupakan legenda di kalangan ahli-ahli ilmu di zaman itu. Dalam kebanyakan waktu beliau mengajar tanpa kitab.
Tidak seperti kebanyakan ulama yang lain di zamanya, Tok Kenali tidak hanya aktif di sekitar Surau atau Pondoknya saja, malah aktif dalam bidang kegiatan kemasyarakatan dan pentadbiran negeri, di mana beliau disahabati dan dirundingi oleh pembesar-pembesar negeri terutama rakan karibnya Dato’ Perdana Menteri Kelantan almarhum Haji Nik Mahmud Ismail (ayahanda Tan Sri Nik Ahmad Kamil dan Dato’ Nik Mustafa Fadhil). Hakikat ini dapatlah di perhatikan dari jawatan-jawatan yang disandang semasa hidupnya iaitu selaku anggota Majlis Ugama Islam, anggota Jemaah Ulama Kelantan, Ketua Pengarang pertama majalah Pengasuh dan Ketua Pelajaran Ugama. Seluruhnya merupakan jawatan-jawatan penting yang memerlukan pandangan-pandangan yang tajam dan pergaulan yang luas.
Tok Kenali telah dilahirkan di Kampung Kenali pada tahun 1868 dari satu keluarga kaum tani yang saleh. Nama tubuh beliau Muhamad Yusuf bin Ahmad dan nama timangan "Awang", satu nama sentimental yang amat disukai beliau. Majalah Pengasuh keluaran pertama memperkenalkan pengarangnya sebagai "Al-Fadhil Tuan Haji Awang Kenali" dan almarhum Al-Sultan Muhammad yang Keempat menyebut nama beliau dalam titah ucapan melantik beliau selaku anggota Majlis Ugama Islam dengan nama "Haji Awang Muhammad Yusuf Kenali".
Beliau dilahir dan dibesar remajakan dalam zaman permerintahan seorang Raja negeri Kelantan yang agung iaitu almarhum Al-Sultan Muhammad yang Kedua yang terkenal dengan gelaran "Sultan Mulut Merah". Beliau dilahirkan kira-kira setahun selepas dibina Masjid Besar Kota Bharu (masjid kayu) yang sesuku abad kemudian menjadi gelanggang keguruan dan kegiatan ilmiahnya yang mengharumkan nama Kelantan ke seluruh Tenggara Asia.
Dari sejak kecil lagi beliau memperlihatkan tanda-tanda kecerdasan yang luar biasa dan kecenderungan kepada ilmu pengetrahuan yang tidak pernah puas. Menurut Abdullah Al-Qari Haji Salleh, Tok Kenali telah melanjutkan pelajaranya di Kota Bharu dalam usia kira-kira sepuluh tahun dengan berguru pada para ulama yang terkenal di zaman itu, di antaranya ialah Encik Ismail (ayah kepada Dato’ Perdana Menteri almarhum Haji Nik Mahmud), Tuan Guru Asy-Syaikh Muhammad Ali bin Abdul Rahman yang terkenal dengan "Wan Ali Kutan", Tuan Guru Haji Taib Tuan Padang dan Tuan Guru Haji Ibrahim Sungai Budor.

Mari bergurindam lagi bersama Hamzah Fansuri

Subhanallah. Pagi ini tiba-tiba muncul gerak untuk membuat update di blogspot ini dengan beberapa tulisan yang dikutip daripada Internet lalu disimpan sekian lama di dalam komputer laptop saya... Dimulakan dengan ini, satu bahagian lagi daripada Gurindam Hamzah Fansuri...


Wahai segala kita yang menyembah nama
Sayogia diketahui apa yang pertama
Kerana tuhan kita yang sedia lama
Dengan ketujuh sifat bersama-sama

Tuhan kita yang empunya Dhat
Awwalnya Hayy pertama bilang sifat
Keduanya 'Alim akan rupa ma'lumat
Ketiganya Murid akan sekalian iradat

Keempatnya Qadir dengan qudratnya tamam
Kelimanya sifat yang bernama Kalam
Keenamnya Sami' dengan adanya dawam
Ketujuhnya Basir akan halal dan haram

Dengan ketujuhnya ini adanya Qadim
Akan isti'dad 'alamina sempurna 'alim
Karena sifat ini dengan Kamal al-hakim
Bernama Bi'smi'llahi'r-Rahmani'r-Rahim

'Ilm itu haqiqat Muhammad al nabi
Menurutkan ma'lum dengan lengkapnya qawi
Daripada haqiqatnya itu jahil dan wali
Beroleh i'tibar dengan sekalian peri

Tuhan kita itu yang empunya Kamal
Didalam 'ilmunya ma'lum tiada pernah zawal
Rahman dalamnya perhimpunan Jalal
Beserta dengan Rahim pada sekalian Jamal

Tuhan kita itu yang bernama 'Ali
Dengan sekalian sifatnya nentiasa baqi
'Ala jami' al-'alamin atharnya jadi
Daripada sittu jihat sebab inilah khali

Cahaya atharnya tiadakan padam
Memberikan wujud pada sekalian 'alam
Menjadikan makhluq siang dan malam
Ila abad al-abad, tiadakan karam

Tuhan kita itu mithil bhar al-'amiq
Ombaknya penuh pada sekalian tariq
Laut dan ombak keduanya rafiq
Akhir ke dalamnya ombaknya ghariq

Lautnya 'alim halunnya ma'lum
Keadaannya qasim ombaknya maqsum
Tawfannya hakim shu'unnya mahkum
Pada sekalian 'alam inilah rusum

Jikalau sini kamu tahu akan wujud
Itulah tanda tempat kamu shuhud
Buangkan rupamu dari sekalian quyud
Supaya dapat ke dalam diri qu'ud

Pada wujud itulah sayogia kau qa'im
Buangkan rupa dan namamu da'im
Napikan rasamu daripada makhdum dan khadim
Supaya sampai kepada 'amal yang khatim

Jika belum engkau tetap seperti batu
Hukumnya dua lagi khadim dan ratu
Setelah luput engkau daripada emas dan matu
Mangkanya dapat menjadi satu

Jika belum fana' daripad ribu dan ratus
Dimanakan dapat adamu kau hapus
Napikan rasamu daripada kasar dan halus
Supaya dapat barang katamu harus

Hamzah Fansuri sunggu pun da'if
Haqiqatnya hampir kepada Dhat al-sharif
Sungguh pun habab rupanya khatif
Wasilnya da'im dengan bahr al-Latif

Jumaat, Mei 25, 2007

Pelancaran buku BKA di Khazanah Fathaniyah 9 Jun Sabtu?

Assalamualaikum para pembaca sekalian. Sukacita dimaklumkan bahawa saya sudah mendapat persetujuan orang kanan Khazanah Fathaniyah iaitu Ustaz Halim dan Ustaz Azrul untuk mengadakan majlis pelancaran buku "Berpetualang ke Aceh" di kedai Khazanah Fathaniyah di Chow Kit pada 9 Jun hari Sabtu selepas solat Zuhur sekitar jam 2 atau 2.30 petang. Sekarang, saya cuma perlu mendapatkan persetujuan ahli keluarga almarhum Ustaz Wan Saghir, barulah betul-betul confirm.
Adapun majlis ini dibuat atas cadangan seorang pembaca di blogspot ini yang mencadangkan agar saya muncul di Khazanah Fathaniyah pada satu tarikh yang akan diumumkan agar para pembaca buku BKA dapat bersua muka dan beramah mesra. Cadangan ini dibuat setelah saya mengumumkan buku kedua "Berpetualang ke Aceh" yang mempunyai sub-title "Membela Syiar yang Asal" baru siap dicetak Isnin 14 Jun.
Kebetulan buku pertama BKA dengan sub-title "Mencari Diri dan Erti" yang telah memasuki pasaran sejak Jun 2006 tidak pernah dilancarkan di mana-mana, maka elok diambil peluang ini untuk melancarkan kedua-dua buku sekali. Kebetulan juga almarhum Ustaz Wan Saghir yang mengasaskan Khazanah Fathaniyah baru sahaja melepasi tempoh 40 hari selepas meninggalkan alam yang fana' ini, elok juga majlis ini digunakan untuk memperingati jasa-jasa serta perjuangan beliau untuk memartabatkan ulama Melayu dahulukala di samping memperkenalkan karya-karya beliau seperti transliterasi kitab lama kepada khalayak yang lebih besar, Insyaallah.
Hmm... Alang-alang sudah bercerita, ingin saya membuat sedikit pengumuman di sini (sementara sempat lagi)... Tadi Ustaz Halim telah menghantar SMS kepada saya yang berbunyi begini:
Tahlil arwah untuk al-marhum Syeikh Wan Muhammad Shaghir Abdullah ar-Riawi al-Fathani pada 26.5.07 Sabtu, bermula jam 9.00 malam di Dewan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani, Taman Melewar, KL. Semua dijemput hadir. Tk. Info PENGKAJI
Saya rasa jemputan ini bersifat umum. Saya tak pasti di manakah dewan ini kerana sudah lama tidak bertandang ke kawasan Taman Melewar. Yang saya pasti, ia tidak jauh daripada markas Pas di Jalan Gombak, maka Insyaallah saya akan menghadiri majlis ini. Mungkin para pembaca pun boleh turut serta?
p/s: Pada sesiapa yang tertanya-tanya, apakah kaitan saya dengan Khazanah Fathaniyah, sila klik di sini... Ustaz Wan Saghir, Khazanah Fathaniyah, perjuangan ...

Isnin, Mei 21, 2007

"Laksamana pulang ke Perak" dan Raja Nazrin?

Angkatan tentera laut dan para hadirin memberi penghormatan terakhir sebelum jenazah dimasukkan ke dalam liang-lahat yang tersedia di hadapan. Di belakang adalah sebahagian kawasan Masjid Ubudiyah di Bukit Chandan.

Semalam ketika berjalan-jalan di sekitar Masjid India, saya terjumpa seorang kenalan yang berniaga di situ. Kenalan itu dahulunya ada berniaga senjata-senjata lama Melayu seperti keris pusaka. Di sanalah saya terjumpa sebuah keris lok 13 bersarung warna hitam gelap yang diikat dengan kain kuning (menandakan kaitan dengan raja-raja) yang saya rasakan ada kena-mengena dengan Nakhoda Hitam, seorang watak legenda Perak yang hidup abad ke 18 Masihi.
Memang hati saya terasa berkenan dengan keris itu. Malangnya ketika itu, saya tidak memiliki wang RM2,000 yang diperlukan sebagai mahar untuk membelinya. Tidak lama kemudian keris itu tiada lagi di sana. Saya diberitahu bahawa pemilik keris yang dahulunya mahu menjual senjata itu telah mengambilnya kembali, tak tahulah kenapa.
Sekarang, kenalan ini tidak lagi berniaga keris sebaliknya dia berniaga beg. Yang janggalnya, semua beg yang dijual berwarna pink atau merah jambu dan kebanyakannya ada gambar patung mainan Barbie doll dengan tajuk-tajuk seperti "Princess" dan sebagainya. Hehe! Bayangkan, dahulu berniaga alat-alat senjata yang nampak macho, sekarang concentrate dengan alatan perempuan yang kekanak-kanakan, hehe!
Sebenarnya beg-beg itu telah diniagakan sejak saya mula mengenali kenalan ini hampir 2 tahun lalu... Tetapi ketika itu, semua ini adalah di bawah jagaan isterinya sedangkan dia pula berniaga keris yang diletakkan di atas meja di sebelah. Nasib baik, ada seorang kenalan lain yang masih berniaga batu-batu cincin, tasbih dan alatan sepertinya di situ... Kira balance balik le, takda le tempat itu terlihat begitu "keperempuanan", hehe!
Apapun, saya sebenarnya hendak bercerita tentang hal lain tetapi terkeluar pula mukadimah di atas. Ini adalah kerana kenalan itu menegur: "Tak pergi ke tengok Raja Nazrin kahwin?". Saya jawab tak. Katanya, "Ingatkan pergi ke sana, kan kamu ada kena-mengena..."
Hmm... Memang orang semua tengah sibuk dengan cerita Raja Muda Perak Raja Nazrin berkahwin dengan Sara Davidson Salim dan daripada satu segi saya memang ada kena-mengena dengan keluarga diraja Perak walaupun keluarga kami telah lama meninggalkan lingkungan istana. Mungkin kenalan itu bertanya kerana dia tahu saya pernah menghadiri majlis pengkebumian kembali Laksamana Raja Mahkota Muhammad Amin ke makam diraja Perak di Bukit Chandan 9 September 2006. Sehari sebelum itu, saya telah singgah di gerainya selepas membeli sepasang baju Melayu hitam siap songkok dan samping di supermarket Mydin berdekatan.
Oh... Saya dah berceloteh panjang pula di sini sedangkan tujuan saya membuat artikel ini adalah untuk menaikkan kembali beberapa buah artikel yang ditulis di bawah nama "Laksamana pulang ke Perak" di mana 5 daripadanya pernah menghiasi akhbar tabloid Kencana kelolaan seorang rakan. Adapun artikel-artikel ini di letakkan di sini dengan jarak masa yang agak lama antara satu sama lain lalu tenggelamlah ia di bawah koleksi archives menjadikannya susah hendak dicari kembali.
Di sini, saya tergerak untuk mengumpulkan sedutan artikel-artikel ini dengan link nya sekali supaya lebih senang ditatap pembaca terutama mereka yang baru mengenali blog ini. Tanpa membuang masa lagi, inilah sedutan-sedutannya... Saksikanlah... "Laksamana pulang ke Perak"....
Hmm... Baru dapat gerak... Biarlah dimulakan dahulu dengan sebuah artikel lama yang mengandungi gambar-gambar peristiwa bersejarah pengembalian kembali Laksamana Raja Mahkota Muhammad Amin ke Bukit Chandan yang dibuat untuk blogspot ini (bukan untuk tabloid Kencana sebaliknya asalnya dibuat untuk tatapan kawan-kawan di sebuah forum kegemaran saya). Ini dia...

Posting dibuat 7 Disember 2006

Pengembalian jenazah Laksamana Muhammad Amin ke Makam Diraja Perak

Subhanallah... Dalam kesibukan (dan keasyikan?) melayari dunia Internet serta melihat balik blogspot-blogspot saya sambil memikirkan apakah tambahan artikel yang perlu dibuat, timbul gerak untuk memaparkan kembali sebuah peristiwa bersejarah yang julungkali diadakan di Malaysia malah mana-mana jua di dunia. Peristiwa itu ialah pengembalian kembali jenazah dua orang pejuang lama Perak iaitu Laksamana Raja Mahkota Muhammad Amin serta Menteri Paduka Tuan Ngah Ibrahim ke negeri tanah-tumpah darah asal mereka, berlangsung 9 September 2006.
Kedua pejuang ini telah dibuang negeri ke Pulau Seychelles di perairan Afrika pada tahun 1877 akibat dituduh terlibat dalam komplot pembunuhan Residen British pertama ke Perak J.W.W. Birch (mati tahun 1875 di Pasir Salak). Turut dibuang sama adalah Sultan Abdullah (Sultan Perak ke 26, memerintah 1874-1877) dan Syahbandar Uda Ma'amor. Untuk makluman mereka semua bersaudara. Syahbandar dan Menteri Paduka Tuan juga merupakan menantu Laksamana.
Sultan Abdullah telah "diampunkan" British lalu sempat kembali ke Perak dan meninggal di negerinya tahun 1922 sedangkan yang lain-lain dipaksa menghabiskan sisa umur mereka masih dalam buangan tetapi di Singapura pula. Maka di sinilah timbul sedikit kekhilafan apabila ada pihak mendakwa Ngah Ibrahim sempat melarikan diri balik ke Perak dan meninggal dunia di Beruas... Lalu mereka menambah jenazah yang dibawa kembali dalam upacara ini bukanlah jenazahnya yang sebenar.
Apapun, di sini saya cuma mengenengahkan proses pengembalian jenazah Laksamana Raja Mahkota Muhammad Amin demi menjunjung rasa kasih dan hormat sebagai keturunan ke-5 almarhum. Gambar-gambar ini saya ambil sendiri ketika mengikuti rombongan membawa jenazah daripada Lumut di mana kapal Tentera Laut Diraja Malaysia KD Laksamana Muhammad Amin mendarat setelah lebih sehari belayar membawa jenazah ke luar Singapura. Setelah selesai adat-istiadat penyambutan jenazah di Lumut, barulah jenazah dibawa melalui jalan lama untuk ke Makam Diraja Perak di Bukit Chandan, Kuala Kangsar di mana Laksamana akhirnya disemadikan kembali.
Oh... Minta maaf jika gambar kurang terang. Ini disebabkan saya telah menggunakan format GIF semasa memasukkan gambar-gambar ini on-line untuk ditunjukkan kepada rakan-rakan di sebuah forum kegemaran. Malah inilah gambar yang sama, dengan komen yang sama di bawah seperti dipaparkan di forum itu lebih 2 bulan lalu... Elok juga diletakkan di blogspot ini pula supaya lebih ramai orang dapat melihatnya, Insyaallah!


Konvoi membawa jenazah Laksamana Muhammad Amin dan Ngah Ibrahim dalam perjalanan dari Lumut ke Kuala Kangsar melalui jalan lama, setelah selesai adat-istiadat sambutan oleh pihak tentera di Markas TLDM Lumut. Ketika ini, konvoi sepanjang 1.5 km itu baru berada di sekitar Sitiawan, dalam jam 10.15 pagi gitu.

Untuk bacaan lanjut, sila masuk ke sini... Pengembalian jenazah Laksamana Muhammad Amin ke Makam diraja Bukit Chandan...

OK... Sekarang baru boleh dipaparkan siri artikel "Laksamana pulang ke Perak". Perlu diingatkan, pada awalnya ia menceritakan peristiwa berkaitan zaman kehidupan Laksamana Raja Mahkota Muhammad sekitar Perjanjian Pangkor 1874 kemudian mula mencapah untuk meliputi hal-hal lain berkaitan Perak sebelum pergi jauh ke zaman dan tempat lain untuk menyentuh cerita-cerita lama seperti Hikayat Malim Deman serta kewujudan kubu Portugis di Muar. Iqra'. Bacalah dengan nama Allah...

Artikel 1...

Posting dibuat 23 November 2006

PENGEMBALIAN JASAD LAKSAMANA MUHAMMAD AMIN KE PERAK: CATATAN PERJALANAN SEORANG WARIS

Ketika lembaran suratkhabar tempatan hangat memperkatakan akan kembalinya jasad dua orang pahlawan Perak yang dibuang negeri semasa pemerintahan Inggeris, seorang waris muda yang baru mengenali kaitan peribadi dengan kedua-dua pahlawan itu terfikir apakah ada makna tersirat di sebalik peristiwa yang julung-kali diadakan di Malaysia malah mana-mana pun di dunia moden ini?
Laksamana Raja Mahkota Muhammad Amin dan menantunya Menteri Paduka Tuan Ngah Ibrahim adalah dua nama besar Perak yang dibuang negeri akibat memberontak melawan Inggeris tahun 1870an. Mereka berserta Sultan Perak ke 26, Sultan Abdullah Muhammad Shah II dan Shahbandar Uda Ma’amor (juga menantu Laksamana) telah diasingkan ke Pulau Seychelles di perairan Afrika (dipanggil Pulau Sisek dalam cerita orang-orang tua Melayu) tahun 1877 untuk memadamkan api pemberontakan orang Melayu Perak yang menyala akibat ketidak-adilan Perjanjian Pangkor 1874.
Perjanjian itu timbul akibat kecelaruan iklim sosio-politik Perak. Tahun-tahun sebelumnya menyaksikan negeri Melayu itu kelam-kabut dilanda Perang Perak yang melibatkan pelombong-pelombong Cina, kumpulan-kumpulan gangster Ghee Hin dan Hai San serta sekutu-sekutu Melayu mereka lalu mengorbankan banyak nyawa. Pada masa yang sama, penggiliran takhta Perak turut celaru apabila Raja Ismail yang berketurunan Siak diangkat menjadi Sultan. Timbul pula sengketa tiga segi bersaudara antara Raja Ismail yang memiliki titisan diraja Perak sebelah ibu dengan Sultan Abdullah yang semasa itu berjawatan Raja Muda serta Raja Yusuf ibni Sultan Abdullah Muhammad Shah I, seorang lagi waris takhta yang merasakan dirinya tersisih.
Suasana kacau-bilau ini memberi peluang kepada penjajah Inggeris menyucuk jarum demi jarum sehingga terbit Perjanjian Pangkor 1874 yang menyaksikan Raja Abdullah diangkat menjadi Sultan dan Raja Ismail diturunkan menjadi Sultan Muda. Sambil itu, buat pertama kali dalam sejarah tanah-air, sebuah negeri Melayu terpaksa menerima seorang Residen Inggeris sebagai “penasihat” yang ternyata bakal menjadi penentu sebenar hala-tuju pentadbiran negeri. Residen pertama itulah manusia bongkak dan angkuh yang dikenali sebagai J.W.W. Birch, birokrat Inggeris biadap yang melanggar hampir setiap sensitiviti orang Melayu sehingga dia dibunuh orang-orang Datuk Maharajalela tahun 1875.
Susulan peristiwa pembunuhan ini menyaksikan Perak berperang dengan Inggeris sebelum ditundukkan dengan penuh kekerasan. Datuk Maharajela Pandak Lam, bapa mertuanya Pandak Endut, Datuk Sagor (Seri Agar Diraja) Ngah Kamdin, Siputum serta pengikut mereka dihukum gantung sampai mati sedangkan Sultan Abdullah, Laksamana Muhammad Amin, Syahbandar Uda Ma’amor dan Ngah Ibrahim dibuang ke Pulau Seychelles.
Selepas beberapa lama hidup dalam buangan, Sultan Abdullah sempat kembali ke Perak selepas menerima pengampuan Inggeris lalu mangkat dan disemadikan di kawasan permakaman diraja Perak di Bukit Chandan, Kuala Kangsar tahun 1922 (check balik ini). Malangnya, Laksamana Muhammad Amin, Syahbandar Uda Ma’amor dan Ngah Ibrahim tidak dibenarkan kembali kerana pengaruh mereka di kalangan orang Melayu masih ditakuti Inggeris. Sebaliknya mereka diasingkan ke Sarawak, kemudian Singapura sebelum meninggal dunia dan dimakamkan di pulau itu.
Ketika dada-dada akbar tempatan sibuk memperkatakan proses pengembalian kembali jasad Laksamana Muhammad Amin dan Ngah Ibrahim ke Perak (tempat persemadian akhir Uda Ma’amor di Singapura tidak ditemui), penulis baru sahaja dua bulan mengenali diri sebagai generasi ke-lima keturunan Laksamana itu. Jika empat tahun sebelumnya banyak dihabiskan untuk mengkaji sejarah serta susur-galur keturunan sehingga 1,400 tahun terdahulu, baru kebelakangan itu, penulis tergerak untuk menyusun kembali salasilah keluarga terdekat sehingga nyatalah kaitan peribadi dengan pahlawan tersebut.
Sampai satu ketika, penulis yang pernah menziarahi makam-makam lama berkaitan keluarga hampir seluruh tanah-air telah tergerak untuk mencari di manakah pula Laksamana Muhammad Amin disemadikan. Baru penulis sedar Laksamana dimakamkan di Singapura, lalu timbul pula keluhan bagaimana hendak ke sana dalam keadaan kekurangan belanja dan sudah lebih 20 tahun tidak pernah menjejakkan kaki ke pulau itu.
Kebetulan hari itu juga muncul artikel tulisan Dr Talib Samat bertajuk “Dua Pahlawan kembali ke Perak” dalam Mingguan Malaysia 27 Ogos 2006 menyatakan jasad Laksamana Muhammad Amin dan Ngah Ibrahim akan dikembalikan ke tanah-air penuh istiadat 9 September. Lebih menarik, jasad mereka akan di bawa dari selatan tanah-air menaiki kapal tentera laut Malaysia bernama KD Laksamana Muhammad Amin! Dan Laksamana akan disemadikan di kawasan permakaman diraja, sekitar 8 meter sahaja daripada makam Sultan Abdullah yang mengikut salasilah rasmi adalah saudara tiga pupu beliau.
Penulis yang sangat teruja terus tergerak menghubungi seorang sepupu kepada bapa yang baru sahaja seminggu dikenali kembali setelah hampir 30 tahun tidak bertemu… Fikirnya, hendak memberitahu akan peristiwa itu tetapi rupanya bapa saudara itu telah lebih dahulu mengetahui. Malah beliau menyatakan waris-waris telah dijemput menghadiri majlis penuh-istiadat lalu mengajak penulis mendaftarkan diri.
“Dua buah bas kerajaan telah disediakan untuk mengangkut keluarga dan kaum kerabat dari Teluk Intan ke Lumut di mana jenazah akan diturunkan dari kapal ke pengkalan tentera laut sebelum dibawa ke Bukit Chandan,” dia memberitahu.

Untuk bacaan lanjut, sila masuk ke sini... Laksamana kembali ke Perak

Artikel 2...

posting dibuat 8 Januari 2007

LAKSAMANA PULANG KE PERAK: APAKAH YANG TERSIRAT?

Sudah hampir 2 bulan jasad Laksamana Raja Mahkota Muhammad Amin, seorang pejuang Melayu abad ke 19 dikembalikan ke Perak… Begitu juga jasad menantunya Menteri Paduka Tuan Ngah Ibrahim yang turut dibuang ke Pulau Seychelles tahun 1877 kerana terlibat dalam pembunuhan Residen British J.W.W Birch. Kedua-duanya sudah selamat disemadikan kembali di tanah-air tercinta, Laksamana di kawasan permakaman diraja Perak di Bukit Chandan, Kuala Kangsar, Menteri di kota peninggalannya di Matang.
Jika hari-hari sebelum peristiwa bersejarah itu menyaksikan dada-dada akhbar tempatan riuh sensasi dengan berita akan kembalinya jasad dua tokoh pejuang Melayu yang pernah “terkandas” hampir 100 tahun di Singapura akibat dilarang kembali ke tanah-air sendiri oleh British, hari-hari berikutnya pula menyaksikan mereka seolah-olah dilupakan kembali, hilang khabar berita hanyut semula ditelan zaman.
Seperti lazimnya dalam dunia moden hari ini, berita sebegini cuma hangat apabila ia mula-mula keluar sebelum senyap ditiup angin perubahan zaman apabila ia selesai. Tidak ada yang mahu mengulas apakah ada makna yang tersirat di sebaliknya.
Apapun, bagi sesetengah pihak terutama penulis yang mempunyai kaitan kekeluargaan dengan Laksamana, proses pengembalian jasad itu meninggalkan erti penuh makna dalam jiwa ini, mungkin juga erti yang lebih besar bagi mereka yang sanggup mengkaji lebih jauh.
Alhamdulillah, sedikit cerita mengenainya sudah diabadikan dalam Kencana edisi lepas. Maka dalam edisi ini pula biar disuratkan sedikit pula makna yang mungkin tersirat di sebalik peristiwa yang julung-kali diadakan dalam sejarah mana-mana negara moden, hasil pengamatan dan perjalanan peribadi penulis.

Untuk bacaan lanjut, sila masuk ke sini... Laksamana pulang ke Perak: Apakah yang tersirat?

Artikel 3...

posting dibuat 3 Februari 2007

Laksamana pulang ke Perak: Bandar Melayu yang hilang

Kelmarin kita telah menyentuh mengenai kemungkinan akan adanya makna tersirat di sebalik pengembalian jenazah Laksamana Raja Mahkota Muhammad Amin ke makam diraja Perak di Bukit Chandan, Kuala Kangsar pada 9 September 2006. Makna tersirat yang dimaksudkan adalah mungkin telah sampai masanya sejarah Tanah Melayu patut diselidik, dirombak dan ditulis kembali demi mengembalikan kekuatan sebenar bangsa yang semakin luput ditelan arus kemodenan zaman.
Sekadar mengimbas kembali, Laksamana Muhammad Amin adalah salah seorang pejuang Melayu Perak yang disabitkan terlibat dalam peristiwa pembunuhan Residen pertama Inggeris ke Perak, J.W.W. Birch tahun 1875. Di kala beberapa pejuang lain seperti Datuk Maharajalela Pandak Lam, Datuk Sagor Ngah Kamdin, Pandak Endut dan Si Putum dihukum gantung 1877, beliau, Sultan Abdullah, Menteri Paduka Tuan Ngah Ibrahim dan Syahbandar Uda Ma’amor pula dibuang negeri jauh ke Pulau Seychelles di perairan Afrika.
Sultan Abdullah mendapat “pengampuan” British lalu sempat kembali ke negeri asalnya sebelum menghembuskan nafas terakhir di sana 1922 sementara yang lain dilaporkan meninggal dunia di Singapura. Dalam konteks ini, pengembalian jenazah Laksamana Muhammad Amin ke Perak ternyata amat bermakna. Ia dilakukan penuh istiadat, dan kebetulan jenazah dibawa kembali menaiki kapal perang Tentera Laut Diraja Malaysia bernama KD Laksamana Muhammad Amin!
Jenazah Ngah Ibrahim turut dibawa kembali bersama tetapi ada pihak mempertikaikannya. Menurut mereka, menantu Laksamana itu sempat kembali ke Perak secara senyap dalam tahun 1920an lalu identitinya dirahsiakan untuk mengelak dari dikesan pihak penjajah. Nasib baik tidak ada pertikaian tentang identiti jenazah Laksamana kerana pada tahun 1980an, ia pernah dialih daripada Jurong, Singapura yang sedang dimajukan, ke Pusara Abadi dengan disaksikan waris terdekat. Maka biarlah cerita ini diteruskan lagi mengikut perspektif penulis, seorang anak Melayu generasi ke-5 keturunan Laksamana Raja Mahkota Muhammad Amin.
Apapun, negeri Perak seterusnya seluruh Tanah Melayu banyak dibentuk mengikut acuan Barat setelah hilangnya para peneraju perjuangan bangsa seperti almarhum. Maka apakah pengembalian jenazah Laksamana ke negeri asalnya itu setelah hampir 100 tahun “ditahan” di Singapura, pusat pentadbiran penjajah Inggeris di Nusantara menandakan permulaan beberapa cerita lama yang selama ini terpendam akan dibuka kembali untuk menyedarkan generasi kini dan akan datang?

Untuk bacaan lanjut, sila masuk ke sini... Laksamana pulang ke Perak: Bandar Melayu yang hilang!

Artikel 4...

posting dibuat 23 Februari 2007

Laksamana pulang ke Perak: Membuka detik baru di Muar

Assalamualaikum pembaca sekalian. Di sini ingin diumumkan arah tujuan baru dalam proses penceritaan. Jika keluaran lepas segmen “Laksamana pulang ke Perak” lebih merupakan kisah-kisah yang mempunyai kaitan langsung dengan peristiwa pengembalian jenazah Laksamana Raja Mahkota Muhammad Amin ke kawasan permakaman diraja Perak di Bukit Chandan 9 September 2006, bermula keluaran ini pula kita akan meneroka sedikit sejarah dan cerita-cerita lama berkaitan lokasi terpilih dalam pengembaraan peribadi penulis kebelakangan ini.
Boleh kata hampir seumur hidup penulis rajin mengembara dengan pelbagai cara termasuk hitchiking – menumpang kereta, lori dan apa-apa kenderaan orang yang ditahan di tengah jalan. Ada masanya, perkelanaan diteruskan dengan berjalan kaki berpuluh batu, sampai masuk dan sesat ke dalam hutan dan kawasan pergunungan pun ada. Maka itu banyak juga pengalaman berharga yang boleh dikongsi bersama, sesetengahnya mungkin boleh membuka mata mereka yang dahagakan kisah pengembaraan mencabar seperti sering dilihat dalam kaca TV… Cuma kali ini ia bukan fantasi tetapi realiti!
Dalam pada itu, terbuka juga cerita-cerita menarik tentang tempat-tempat yang dilawati lebih-lebih lagi 5 tahun kebelakangan. Sejak itulah, penulis mula berkelana untuk mendapatkan petunjuk berkaitan sejarah lama Melayu dan Islam di Nusantara termasuk cerita-cerita yang disembunyikan pihak berkepentingan.
Kalau dahulu, perjalanan dilakukan ke sana ke mari sehingga sanggup tidur bersepah di tepian jalanan Eropah demi memuaskan naluri adventure, sekarang ia dibuat dalam rangka-kerja yang lebih bermakna dalam mengenali salasilah dan wasilah keluarga. Maka itu tajuk “Laksamana pulang ke Perak” masih lagi relevan walaupun lokasi pengembaraan akan melangkau jauh ke luar Perak… Kerana apabila diteliti lebih mendalam, rupa-rupanya kisah-kisah yang dapat dirungkai di luar sana juga masih berkaitan, disebabkan sejarah keluarga turun-temurun menjarah jauh untuk meliputi seluruh pelusuk Nusantara malah sampai ke Timur Tengah, Mekah dan Madinah.

Untuk bacaan lanjut, sila masuk ke sini... Laksamana pulang ke Perak: Membuka detik baru di Muar

Artikel 5...

posting dibuat 15 Mac 2007

Laksamana pulang ke Perak: Menyusuri cerita lama Muar

Kitab Sulalatus Salatin ataupun Sejarah Melayu karangan Bendahara Johor abad ke 17, Tun Sri Lanang ada menyebut, sebelum Raja Iskandar (dikenali Barat sebagai Parameswara) membuka kerajaan Melaka yang berpusat di Sungai Bertam (sekarang dikenali sebagai Sungai Melaka), baginda telah cuba membuka negeri di Muar terlebih dahulu. Menurut ceritanya, ini berlaku sejurus selepas kerajaan Singapura pimpinan baginda jatuh diserang Majapahit. Lalu larilah raja ini menghala ke utara dengan para pengikutnya untuk mencari tempat baru yang boleh dijadikan negeri.
Sampai ke suatu tempat di pinggir Sungai Muar, Raja Iskandar pun berhenti berjalan lalu cuba membina penempatan baru. Malangnya tempat itu selalu dinaiki biawak, bukan seekor dua tapi berpuluh sehingga beratus ekor! Mula-mula binatang-binatang ini dapat dibunuh tapi keesokannya datang sekawan besar biawak baru lalu dibunuh lagi. Ini berlaku beberapa hari seterusnya sehingga jadi bertimbun-timbun bangkai biawak yang membusuk. Baginda dan para pengikutnya tidak tahan lagi lalu meninggalkan tempat itu. Sebab itu kawasan ini dikenali sebagai Biawak Busuk.
Sang raja pun mudik lebih jauh menyusuri Sungai Muar sehingga terjumpa tempat baru yang dirasakan sesuai untuk dibuat negeri. Setelah berpenat-lelah membuka hutan sekitar, rakyat baginda berjaya membina sebuah kota. Nampaknya lokasi ini lebih baik daripada tempat sebelumnya, rupa-rupa tak juga… Mereka cuma sempat bermalam satu hari sahaja. Keesokannya, kota yang dibina bertukar menjadi buruk , tidak tahulah kenapa. Maka tempat itupun dikenali sebagai Kota Buruk sementara Raja Iskandar pula terpaksa mengembara lagi untuk mencari negeri.
Setelah berjalan lama, sampailah mereka ke tepi Sungai Bertam. Di situlah berlaku peristiwa yang terkenal dalam cerita pembukaan negeri Melaka iaitu anjing pemburu baginda ditendang seekor pelanduk yang berani sehingga anjing itu terjatuh ke dalam sungai! Kebetulan ini berlaku ketika sang raja sedang berehat di bawah pokok Melaka. Mengikut ceritanya, sempena peristiwa itulah, Raja Iskandar terasa tempat itu elok dibuat negeri, maka diberi nama Melaka.
Cerita mengenai pembukaan negeri Melaka ini boleh dikatakan sangat terkenal sehingga diketahui kebanyakan rakyat Malaysia yang sedikit peka terhadap sejarah negara. Berapa ramai yang sedar, sebelum itu baginda telah dua kali cuba membuka negeri di Muar tetapi gagal?
Dari satu segi, memang Raja Iskandar telah ditakdirkan untuk membuka negeri di Melaka, sebab itu baginda menghadapi masalah biawak busuk dan kota buruk terlebih dahulu. Tetapi daripada segi lain, kenapa pula seorang raja yang dikatakan berdaulat tinggi, keturunan Raja Iskandar Zulkarnain yang turun ke Bukit Siguntang boleh kecundang di Muar? Apakah ada yang tersirat di sebalik ini?

Untuk bacaan lanjut, sila masuk ke sini... Laksamana pulang ke Perak: Menyusuri cerita lama Muar

Artikel 6...

Laksamana pulang ke Perak: Kota Portugis, Si Tanggang dan Raja Temenggung Muar

Semua orang tahu akan kewujudan kota A Famosa di Melaka. Walaupun kebanyakan bahagian kota Portugis berumur sekitar 500 tahun itu telah hancur ditelan zaman, beberapa bekas peninggalannya seperti bangunan besar di atas Bukit St. Paul berserta pintu gerbang utama yang sering menghiasi poskad daripada Melaka masih utuh untuk tatapan ramai.
Melaka mungkin telah beberapa kali bertukar pemerintahan daripada Portugis pergi ke tangan Belanda kemudian Inggeris kemudian baru kembali ke dalam genggaman orang Melayu terutama selepas kemerdekaan Persekutuan Tanah Melayu 1957 tetapi nama A Famosa yang bermaksud kota yang terkenal masih mekar sampai ke hari ini. Manakan tidak, suatu masa dahulu ia adalah satu daripada tiga kota utama di rantau Asia yang digunakan Portugis untuk menguasai jalan perdagangan Timur ke Barat… Dua kota lagi ialah Hormuz di Timur Tengah dan Goa di benua Hindi. Lalu ramai yang tidak sedar bahawa di Semenanjung Tanah Melayu ini pernah wujud sebuah lagi kota Portugis, dalam banyak-banyak tempat di Muar, Johor. Walaupun kesannya telah lama hilang, tidak seperti tinggalan A Famosa yang boleh disaksikan sehingga kini, kewujudannya boleh dibuktikan melalui catatan-catatan Portugis terutama sebuah lakaran peta lama oleh Eredia yang dilukis tahun 1604.
Pada segmen “Laksamana pulang ke Perak” kali ini, biar kita bincangkan sedikit mengenai kota yang kemungkinan besar pernah meliputi pusat bandar Muar sekarang. Penulis ada sebab untuk percaya bahawa kota itu telah didirikan di atas runtuhan Kubu Bentayan yang tercatit sebagai tempat pertahanan terakhir kerajaan Melaka melawan Portugis sebelum kalah tahun 1511.
Selain itu, elok juga kita bercerita sedikit tentang Bukit Treh, satu-satunya bukit yang terletak dalam lingkungan 5km daripada pusat bandar Muar. Mengikut cerita setempat, di sinilah berlaku peristiwa Si Tanggang, anak derhaka yang disumpah berserta seisi kapalnya menjadi batu kerana tidak mahu mengakui pertalian darah dengan ibu-bapanya.
Untuk melengkapkan segmen ini, penulis juga ingin bercerita sedikit tentang Raja Temenggung Muar, satu jawatan bangsawan bagi pemerintah daerah Muar (dahulunya negeri!) yang pernah meliputi wilayah Segamat. Untuk makluman, segmen kali ini adalah penutup cerita-cerita tentang Muar yang dibuat setelah beberapa kawasan di Johor dilandar banjir luar-biasa penghujung tahun lepas. Insyaallah selepas ini kita akan mula menerokai cerita-cerita lama dalam perjalanan penulis ke Pantai Timur yang dibuat sejurus sebelum itu. Ayuh… Teruskan membaca!

Untuk bacaan lanjut, sila masuk ke sini... Laksamana pulang ke Perak: Kota Portugis, Si Tanggang dan Raja Temenggung Muar

Baiklah. Cukup sampai di sini. Kalau diizinkan Allah, insyaallah cerita-cerita di bawah siri "Laksamana pulang ke Perak" akan muncul kembali di mana-mana akhbar (Kencana sedang menghadapi sedikit masalah), paling tidak pun di sini. Doakan kejayaan saya ya para pembaca sekalian. Wassalam! :]

Ahad, Mei 20, 2007

Central Market pula jadi port terbaru "Berpetualang ke Aceh"

Saudara Iedet dengan siri buku "Berpetualang ke Aceh"... Psstttt (berbisik le konon...) Gitar di sebelah itu adalah gitar yang baru saya beli hari Sabtu. Cantik tak? (Peehhhh... Bangganya, hehe! Terasa nostalgia zaman bermain kugiran dengan kawan-kawan tahun 80an)


Hmm... Biarlah saya bercakap straight to the point. Sukacita dimaklumkan bahawa Central Market atau Pasar Seni adalah tempat terbaru atau PREMIS KETIGA DI MALAYSIA yang menerima lalu ada menjual buku terbaru saya, "Berpetualang ke Aceh: Membela Syiar yang Asal" atau BKA II. Premis pertama adalah kedai Khazanah Fataniyah di kawasan Chow Kit diikuti pusat rawatan kecantikan dan kesihatan Seri Harum @ Aroma Kasturi di Bandar Tasik Selatan. Turut dijual bersama adalah buku pertama "Berpetualang ke Aceh: Mencari Diri dan Erti" atau BKA I.

Sesiapa yang ingin mendapatkan buku BKA I mahupun BKA II boleh pergi ke kawasan ruangan pelukis yang terletak di bangunan kedua Pasar Seni iaitu berhadapan pintu masuk utara bangunan utama... Cari ruang lukis kelolaan sahabat baik saya saudara Iedet (hamba Allah berambut panjang dalam gambar di atas). Sila lihat gambar-gambar di bawah untuk mendapatkan gambaran akan kedudukan sebenar ruang ini.



Gambar diambil daripada seberang Jalan Kasturi. Bangunan tinggi di belakang adalah bangunan Bank Pertanian. Teringat suatu masa dahulu ketika bapa saya bekerja di bangunan itu... Hinggakan apabila orang bertanya bapa kerja apa, saya jawab: Abah kerja sebagai pegawai pertanian. Padahal dia adalah seorang pegawai Kementerian Pelajaran... Dahulu, kementerian ini berpusat di situ.


Gambar diambil lebih dekat. Nampak tak seorang pelukis sedang membuat kerja? Itu di hadapan ruang lukisan kelolaan saudara Iedet le tu...


Yang ni dah kira nampak terang le... Susah-susah, tanya le tempat Iedet kat mana. Insyaallah semua orang kat situ kenal. Kemudian cakap le nak beli buku BKA, hehe! Rasanya tak le susah nak cari kan?

Oh... Tergerak pula untuk menceritakan sejarah lama saya mengenali Pasar Seni seterusnya bagaimana saya boleh jadi "kamceng" dengan saudara Iedet...

Adapun 20 tahun lalu, sebelum melanjutkan pelajaran ke luar negeri, saya selalu ke sana untuk menenangkan fikiran selain melihat pelbagai aktiviti seni yang menarik. Ketika itu, pertengahan tahun 80an, selalu diadakan aktiviti deklamasi sajak oleh para penyajak jalanan yang terkenal seperti Pyan Habib dan anggota kumpulan Kopratasa. Tetapi saya mula rajin mengenali warga Pasar Seni pada penghujung 80an terutama selepas dibuang kolej akibat berbagai masalah disiplin... Maklumlah, budak tengah 'naik', macam-macam perangai buruk dah buat...

Dalam tempoh itu, saya pernah bekerja sebagai audit assistant di sebuah syarikat akauntan di Jalan Raja Chulan, selalu berjalan kaki lalu di kawasan lapang di tepian Pasar Seni ketika pergi dan kembali kerja. Maka itu saya selalu meluangkan masa memerhatikan gelagat para pengunjung, lebih menarik lagi bergaul dengan masyarakat buskers atau pemuzik jalanan terutama saudara Yem yang selalu bermain gitar dengan memakai topi koboi juga kenalan-kenalan lain (sekarang ramai dah hilang, entah apa le cerita)... Sampai saya jadi leka bergaul dengan mereka sehingga mula ponteng kerja malah ada masanya saya tidak kembali ke rumah langsung kerana mengikut mereka bermain muzik di jalanan sehingga di gerai-gerai makan di Jalan Tun Sambanthan.

Penglibatan saya dengan insan seni Pasar Seni menjadi semakin rapat hinggakan apabila pihak RTM menjemput wakil daripada pihak mereka untuk muncul dalam kaca TV demi memeriahkan sambutan satu acara (dah lupa apa acaranya, rasanya hari penyiaran ke apa), kawan-kawan ini mengajak saya bermain gitar mengiringi mereka menyanyikan satu lagu pendek. Maka pada tahun 1989 (atau 1990? Lupa tahun sebenar), itulah kali pertama saya merasa muncul di kaca TV, kononnya sebagai seorang insan seni, hehe!

Pada tahun 1991, saya diterima menyambung kembali pengajian di sebuah kolej lain lalu pada pertengahan tahun itu berangkat ke London untuk membuat ijazah di dalam jurusan Mathematics di University College of London. Dalam tempoh pengajian (sehingga tahun 1995 kerana terpaksa mengulang tahun dua), terputuslah hubungan saya dengan ramai kenalan di Malaysia termasuk warga Pasar Seni. Maklumlah, ketika itu saya sudah mula tenggelam dalam dunia tersendiri... Mula mencari makna hidup diri sendiri yang agak pelik menongkah arus dan ada pula niat untuk terus menetap di England atau mungkin di tempat lain di benua Eropah.

Apapun, saya kembali ke tanahair juga hampir penghujung 1995. Tahun 1996 pula saya mula bekerja sebagai wartawan di The New Straits Times dan kerja ini memerlukan saya banyak berjalan. Maka sampai masanya, saya mula tergerak untuk "bermain-main" kembali di sekitar Pasar Seni dan sampai masanya juga saya mula mengenali saudara Iedet sedangkan sejak hujung tahun 80an lagi dia sudah berada di sana tetapi saya tidak mengenalinya kerana lebih rapat dengan para pemuzik jalanan.

Yang menarik, kami saling mengenali akibat sebuah pameran piano yang diadakan di ruang legar Pasar Seni berdekatan dengan ruang pelukis (ketika itu di dalam bangunan utama). Ketika sedang berjalan-jalan di sana, saya tergerak untuk bermain sebuah piano yang dipamirkan - saya telah bermain piano sejak awal tahun 80an. Walaupun tidak memiliki alat muzik itu, saya boleh menumpang bermain di rumah saudara yang ada piano... Dan walaupun saya malas belajar muzik (pernah dipaksa di sekolah tapi saya selalu 'tuang') dan sampai sekarang tak tahu baca note, alhamdulillah, saya telah dianugerahi Allah dengan pendengaran elok yang mampu mengenal nada dengan elok (satu kebolehan yang dipanggil perfect pitch). Maka itu saya mampu meniru malah mengubah-suai hampir segala bentuk irama yang melekat di dalam kepala.

Dalam keadaan ini, ramai juga orang yang bertanya saya belajar main piano sampai gred berapa... Kerana mereka yang pernah mendengar saya bermain menyangkakan, sudah tentu saya pernah mengambil kelas muzik sehingga melepasi tahap tertentu. Jawaban saya tak, saya tak reti apa-apa kecuali apa yang terbetik di hati. Apa yang saya lakukan adalah mengaplikasikan nada, note dan chord daripada permainan gitar (kerana saya telah lebih dahulu mengenali gitar) ke piano lalu menggunakan teknik Richard Clayderman yang selalu menggunakan tangan kiri untuk bermain bass dan chord sementara tangan kanan pula untuk membuat permainan muzik solo... Cukup untuk bermain muzik pada tahap yang dapat menghiburkan orang ramai.

Kebetulan saudara Iedet meminati muzik piano tetapi tidak tahu bermain sendiri (sekarang, dia pun boleh tahan pandai). Dia terus tertarik dengan cara permainan saya lalu bermulalah satu perkenalan yang terus bertahan sampai ke hari ini. Kini, Iedet menunggu giliran untuk menerbitkan bukunya sendiri iaitu sebuah buku mengenai teknik-teknik melukis berdasarkan pengalamannya melukis poster dan berkarya untuk orang ramai lebih 20 tahun di Pasar Seni. Maka itu dia rasa seronok melihat saya berjaya menerbitkan buku kerana ia memberikan semangat tambahan untuk melaksanakan cita-citanya sendiri...

Hmm... Rasanya cukuplah saya bercerita tentang ini. Jangan lupa dapatkan buku BKA ya, tak kiralah samada melalui saudara Iedet di Pasar Seni atau di Seri Harum @ Aroma Kasturi dan Khazanah Fathaniyah. Insyaallah jika tiada aral melintang, masuk bulan depan, BKA II boleh didapati juga di gedung-gedung MPH dan Popular Bookshops seluruh Malaysia juga di toko-toko buku terpilih.

Ingat, harga BKA II sama dengan BKA I iaitu RM24.90 malah lebih padat, menarik dan lebih adventure... Elok juga dihadiahkan kepada orang tersayang juga rakan-rakan supaya menghayati perjuangan yang ingin diketengahkan. OK le... Sekian, wassalam! :]


p/s: Insyaallah, satu majlis kecil melancarkan buku "Berpetualang ke Aceh" di samping memperingati perjuangan serta hasil kerja almarhum Ustaz Wan Saghir akan diadakan 9 Jun Sabtu (3 minggu dari sekarang). Tunggu berita tentang ini nanti...


Nostalgia BKA I: Susah-payah "Mencari Diri dan Erti"

Seminggu ini saya jadi begitu sibuk mengatur berbagai perkara berkaitan buku kedua saya, "Berpetualang ke Aceh: Membela Syiar yang Asal" atau BKA II. Jika minggu sebelum itu, saya sentiasa berada dalam keadaan blank dan bodoh hilang punca, samada termenung memandang dinding atau terlalu banyak tidur dalam keadaan kesihatan terganggu akibat tekanan jiwa kerana belum mendapat ilham bagaimana hendak menangani masalah penyimpanan buku (syarikat percetakan yang digunakan kali ini tidak menyediakan ruang penyimpanan) serta hal berkaitan, sejak buku itu siap dicetak Isnin lepas, tiba-tiba muncul semangat baru berserta tenaga tembahan diiringi pelbagai idea bagaimana untuk mempromosi dan mewar-warkan BKA II serta cara-cara menangani masalah logistik lain.
Hari-hari seterusnya menyaksikan masa siang digunakan sepenuhnya untuk berjumpa mana-mana pihak yang patut, mengangkut buku ke beberapa tempat selain menyelesaikan beberapa perkara. Ambil contoh hari Jumaat lepas... Pagi itu saya telah pergi ke bahagian tertentu Perpustakaan Negara di Wisma Selborn berhampiran Jalan Semarak untuk membuat penyerahan wajib 5 naskah buku selain menyemak penambahan digit dalam nombor ISBN buku. Dalam perjalanan itu, tergerak pula untuk menjenguk Ketua Pengarah Perpustakaan Negara di bangunan utama. Ada cerita tertentu berlaku di sana, tetapi biarlah ia menjadi rahsia...
Selepas selesai semua ini, saya ke bangunan Utusan Malaysia di Jalan Chan Sow Lin untuk mengatur supaya mendapat ulasan buku dalam akhbar mereka... Sebelum bersolat Jumaat, sempat singgah ke rumah seorang bapa saudara yang telah memberikan pembiayaan awal membuat percetakan buku (ketika membuat BKA I) di Bukit Damansara, bapa saudara yang kebetulan baru kembali daripada menunaikan umrah lalu saya serahkan senaskah buku sebagai hadiah. Petang itu, pergi pula ke Batu Caves untuk mengambil sejumlah naskah BKA I di pusat percetakan yang dahulu lalu dibawa ke pusat rawatan kecantikan Seri Harum @ Aroma Kasturi di Bandar Tasik Selatan, premis kedua yang ada menjual BKA II (selepas kedai Khazanah Fathaniyah di Chow Kit).
Kira, sudah beberapa lokasi yang saya pergi hari itu? Wisma Selborn di Jalan Semarak, bangunan utama Perpustakaan Negara yang berhampiran, Utusan Malaysia di Jalan Chan Sow Lin, rumah bapa saudara di Bukit Damansara, pusat percetakan untuk BKA I di Batu Caves dan Seri Harum di Bandar Tasik Selatan... 6 tempat di pelbagai lokasi, cukup empat arah utara, timur, selatan dan barat Kuala Lumpur.
Memang penat bergerak dan menyelesaikan pelbagai perkara dalam waktu yang terhimpit sehingga terkejar-kejar. Di Wisma Selborn sahaja perlu pergi ke tiga bahagian perpustakaan di tingkat-tingkat bangunan yang berlainan untuk menyelesaikan apa yang patut. Belum dikira penat mengangkut hampir 300 naskah buku keseorangan masuk kereta kemudian diangkat masuk lif untuk ke Seri Harum di tingkat 2. Itupun nasib baik ada kereta milik seorang kenalan yang sudi menolong... Saya sendiri tidak memiliki apa-apa kenderaan, kalau tak lagi lah teruk.
Oh... Saya dah terlajak menceritakan penat-jerih membuat kerja selepas percetakan BKA II(sebelum percetakan pun banyak kerja, menulis, membuat rekaan kulit dan sebagainya, mencari ilham...) sedangkan tajuk posting ini ialah Nostalgia BKA I: Susah-payah "Mencari Diri dan Erti"... Sebab tajuk penuh novel itu ialah "Berpetualang ke Aceh: Mencari Diri dan Erti".
Sebenarnya saya ingin meluahkan betapa siksanya ketika mula-mula mengeluarkan buku itu dahulu tapi rasanya cukuplah dengan mengenengahkan beberapa perkara... Biar dimulakan dengan ulasan buku yang pertama sekali, di buat oleh Berita Harian. Ini dia, diambil daripada simpanan library on-line Berita Harian kerana keratan akhbarnya sudah lama hilang.

Publication :BH

Edition :

Date : 29/06/2006

Page Number : 11

Headline : Salasilah Sultan Melayu

Words : 231

Byline :


Column Name : Dunia buku

Text :

BERPETUALANG Ke Aceh: Mencari Diri dan Erti karya Radzi Sapiee membawa pembaca menerokai keagungan sejarah Kesultanan Melayu Melaka yang dikatakan ada hubungan rapat dengan Kesultanan Perak. Radzi menggabungkan fakta dengan fantasi melalui perjalanan hidup Muhammad Al-Aminul Rashid yang melakukan kembara ke beberapa wilayah Nusantara dalam percubaan mengenal erti kehidupan dan diri.
Lokasi pertama sasaran Rashid ialah negeri kelahiran ayahnya, Perak, tempat bermulanya kisah Keramat Kuala Bidor, makam individu yang dikatakan tulus dan tidak pernah meremehkan setiap ujian Allah kepadanya.
Pencarian Rashid itu, memaksanya meneroka puncak Gunung Nuang, penempatan makhluk halus tetapi pemuda terbabit tersesat di tengah hutan dan terpaksa melalui beberapa peristiwa yang menemukannya dengan kebesaran Pencipta Alam Semesta.
Kegelapan malam diredah dengan penuh tawakal dan Rashid hanya berpandukan cahaya seakan-akan api dari puntung rokok untuk mencari jalan keluar serta berkat keyakinan kepada Allah, Rashid dan Nur, teman sekerjanya, berjaya keluar.
Rashid semakin teruja dengan kisah Raja Pasai dan Perlak, susur galur keturunan kesultanan Perak dan rasa ingin tahunya mengheret Rashid mengembara lebih jauh melalui alam mimpi.
Pembaca buku ini akan dapat melihat kajian mendalam pengarang berhubung fakta lewat karyanya ini dan mereka yang selesa dengan novel sejarah serta sufi pasti mendapati Radzi tidak mengecewakan mereka.
Perdebatan Rashid bersama rakannya, Nasri, mengenai keturunan Sultan Mansur Syah dan tiga lagi sultan Melaka dalam novel terbitan WasilahMerah Silu Enterprise setebal 299 halaman ini memungkinkan pembaca mengetahui nasab kesultanan Melayu. (END)

...............

Terus terang saya katakan, saya kurang puas dengan ulasan yang diberikan. Ruang yang diberikan terlalu kecil, mungkin kerana buku ini tidak menepati ciri-ciri novel popular di pasaran sedangkan saya harus menunggu hampir sebulan untuk melihat ulasan ini keluar setelah menyerahkan senaskah buku untuk tatapan mereka.
Saya akui memang banyak kelemahan dalam BKA I, maklumlah ia adalah buku pertama saya malah ia adalah penulisan pertama saya di dalam Bahasa Melayu! (Selain karangan yang dibuat untuk subjek Bahasa Malaysia di sekolah). Maklumlah, saya bekas pelajar yang menuntut dalam jurusan Mathematics di universiti di England kemudian kembali ke tanah-air lalu menjadi seorang wartawan untuk sebuah akhbar berbahasa Inggeris terkemuka di ibu-kota...
Satu perkara yang pernah disentuh adalah kelemahan dalam rekabentuk kulit buku dan saya tidak menafikannya... Sekali lihat, ramai orang menyangkakan ia adalah sebuah buku agama disebabkan rupa kulitnya malah pertama kali diletak di Pustaka Minerva di Jalan Tuanku Abdul Rahman, saya dapati BKA I berada di celah buku-buku agama. Nasib baik saya menegur: "Inikan novel, kenapa diletakkan di ruangan buku-buku agama?"
Ketika itu, saya baru hendak membuat survey, di manakah buku ini telah muncul, maklumlah, buku pertama saya baru keluar di pasaran... Rasanya tiada siapa yang sedar saya adalah penulis buku kerana saya berjalan memakai baju buruk hampir seperti seorang pengemis jalanan rupanya.
Perkara lain yang ditegur adalah terlalu banyak font tulisan yang digunakan menyebabkan sesetengah orang jadi keliru sementara graphics yang diletakkan di setiap sudut mukasurat tertentu, juga design eksperimen (mengikut ilham kepala gila saya ketika itu) yang diletakkan dalam bab "Legenda Merah Silu: Kemunculan Sultan Malikus Salih" (kononnya untuk mendapatkan feel tertentu seolah-olah sedang membaca novel "Lord of the Rings") mengacau proses pembacaan. Ini kerana saya membuat salah dugaan tidak mengambil-kira bahawa graphics yang keluar di atas kertas (berbanding dengan yang di dalam komputer) akan menjadi lebih gelap.
Kesalahan yang serupa juga dibuat dengan tidak sengaja dalam memilih rupa-bentuk kulit. Rupa-rupanya warna kuning yang dipilih kelihatan lebih cair di atas kertas berbanding di dalam komputer. Dan apabila dilihat kembali, warna kuning seperti yang tertera di dalam komputer pun tidak cukup menarik. Mungkin saya patut memilih warna kuning kejinggaan seperti warna diraja Perak?
Sepatutnya, saya membuat pemeriksaan awal tetapi pada ketika itu saya tidak terfikir semua ini kerana jiwa saya sudah terlalu sarat dengan bebanan kerja dan perasaan. Bayangkan, jadi penganggur semenjak tahun 2001 berkelana ke sana ke mari mencari jawaban kepada segala persoalan yang membelenggu fikiran sehingga keluarga sendiri pun sudah memandang saya tidak betul... Bayangkan perasaan berbuat semua ini setelah berpisah dengan anak dan isteri kerana perceraian dan tidak seiring jalan, dalam keadaan duit simpanan sudah kering kesemuanya sedangkan jiwa pula tidak keharuan dan selalu kesepian. Bayangkan mula menulis dengan segala masalah ini mengganggu kelancaran pemikiran, sejak 2004 selepas kembali daripada perkelanaan ke Aceh kemudian tahun 2006 barulah hasil penulisan itu dapat diungkap dan diolah-balik sehingga menjadi buku yang layak masuk ke pasaran.
Ambil sahaja masalah kulit buku sebagai renungan... Rekabentuk asal berwarna hitam tetapi pada hari saya ingin menyerahkan check untuk memulakan percetakan (setelah berjaya mendapatkan sokongan pembiayaan seorang bapa saudara), baru pihak pencetak menegur, warna hitam itu kurang sesuai. Saya pula tidak mahu menunggu lama lagi untuk membuat apa-apa perubahan atau pembetulan kerana terasa sudah begitu lama sengsara menanggung segala macam beban cuba menyiapkan buku. Maka on the spot, dalam bilik pejabat pencetak, saya membuat perubahan warna kulit buku lalu memilih warna kuning...
Memang saya gopoh ketika itu. Saya mahu melepaskan segala beban perasaan secepat mungkin... Saya mahu menyerahkan check dan terus memulakan percetakan. Saya serah sahaja pada Allah, apa yang bakal terjadi. Maka hasilnya adalah sebuah buku yang sangat disenangi sesetengah pihak terutama mereka yang sedang dalam pencarian makna hidup mereka sendiri sementara pihak lain pula terus melihat kelemahan rupabentuk buku dan lay-out serta font yang digunakan. Mungkin itulah yang menyebabkan ulasan dalam Berita Harian itu begitu pendek? (pada pandangan saya ya, mungkin pandang orang lain mengatakan ulasan yang diberi sudah cukup bagus...)
Rasa tidak puas-hati terhadap ulasan Berita Harian mendorong saya untuk cuba menghubungi pihak Utusan Malaysia pula selepas itu... Alhamdulillah, ulasan yang diberi lebih panjang dan menarik. Ini dia, sekali lagi, diambil daripada dalam komputer kerana keratan akhbarnya juga sudah hilang:

Kembara ke Aceh mencari asal diri

Judul : Berpetualang ke Aceh
Penulis : Radzi SapieeHarga : RM24.90
ISBN : 983-42031-0-1
Penerbit : Wasilah Merah Silu Enterprise
Pengulas : AZLINARIAH ABDULLAH

BUNYI judulnya agak keras sedikit, malah tiada elemen yang menggambarkan ia adalah genre novel, yang kebiasaannya bertemakan rindu serta kasih sayang. Tetapi jika ia sifatnya ialah novel pengembaraan, maka judul Berpetualang ke Aceh barangkali sangat kena pada tempatnya.
Apa cerita sebenar di sebalik novel ini? Penulisnya, Radzi Sapiee ketika ditemui Utusan Malaysia baru-baru ini berkata, ia sebuah novel unik yang mengisahkan pengembaraan mengenali asal usul diri, dengan menyusuri 1,200 tahun kaitan bumi Serambi Mekah (Aceh) dengan Nusantara dunia Islam.
‘‘Malah jika diteliti dan dibaca keseluruhan isi kandungan novel ini, ia juga memberitahu makna Melayu dan perjuangan akhir zaman,’’ kata Radzi, seorang bekas wartawan.
Menerangkan lebih lanjut mengenainya, beliau berkata, sebelum novel ini ditulis, beliau banyak didatangi mimpi termasuk mengenai peristiwa 11 September 2001 di Amerika Syarikat (AS) , tsunami 26 Disember 2004 di Aceh.
Apabila ia benar-benar berlaku (ini kerana kedua-dua mimpi itu terjadi sebelumnya), kata Radzi, ia seolah-olah ‘deejavu’ selain memaksanya mencari makna di sebalik mimpi-mimpi berkenaan.
Justeru dalam pengembaraan yang memakan masa lebih dua tahun itu, ada berlaku pemberontakan dalam jiwa untuk mencari siapa diri yang sebenar.
‘‘Itulah sebabnya juga judul novel ini diberikan ‘Berpetualang ke Aceh’ bukannya Mengembara, Berkelana atau Menjejaki Aceh.
‘‘Maksud berpetualang itu juga mempunyai erti yang baik, maksud yang menjurus ke arah perjuangan menegakkan yang hak,’’ jelas beliau.
Watak yang digunakan dalam novel ini ialah diri penulis itu sendiri, tetapi dibawa oleh individu yang dinamakannya sebagai Rasyid. Watak lain dalam novel ini ialah pemuda bernama Asri, rakan kepada Rasyid. Tetapi watak Asri itu hanya ada di babak pertama dan kemudiannya tidak muncul di bab-bab seterusnya.
Seperti pengembaraan ‘Cuti-Cuti Malaysia’, perjalanan Rasyid diutarakan dengan begitu santai dan bersahaja oleh penulis novel ini.
Ini termasuk bagaimana kaitan kejadian tsunami boleh membawa Rasyid mengembara ke Aceh, mencari dan memahami erti diri yang sejati.
‘‘Hampir sahaja setiap hari persoalan mengapa banyak malapetaka berlaku kepada umat Islam bermain-main di fikiran. Jawapan kepada pergelutan jiwa ini yang dicari oleh Rasyid.’’
Dalam hal ini, Rasyid seolah-olah cuba menyelongkar kepentingan sejarah, yang menurut hematnya banyak telah dipadamkan.
Rasyid percaya bahawa sejarah bumi Aceh dan perjuangan adalah sejarah perjuangan Islam dan bangsa Melayu sendiri.
‘‘Di dalam novel ini saya cuba sentuh bagaimana perasaan Rasyid bergolak dan marah kerana masyarakat hari ini tidak menyedari tentangnya (perjuangan Aceh dan Islam) disebabkan permainan licik penjajah yang berjaya melaga-lagakan kesultanan-kesultanan dahulu demi mengekalkan serta meluaskan kekuasaan mereka di rantau ini, juga memadamkan syiar Islam dari muka bumi.
‘‘Nah, sekarang dapat difahami mengapa novel ini saling berkaitan mimpi, sejarah, kemarahan dan mencari diri,’’ kata Radzi lagi.
Istimewanya novel ini, ia membawa membaca meneliti sejarah lama, yang barangkali sebahagian besar generasi hari ini tidak mengetahuinya.
Penulis novel ini banyak membuat kajian mengenai sejarah sebelum menulis novel pengembaraan setebal 300 halaman ini.
Ia membawa pembaca mengetahui mengenai Kesultanan Perak, Legenda Merah Silu, cerita Sheikh Abdul Qadir Al-Jilani, kemunculan Sultan Malikus Salih dan Samudera-Pasai.
Kesemuanya diceritakan dengan panjang lebar menerusi pengembaraan Rasyid, yang pada akhirnya dia sendiri tidak tahu sampai bila mahu terus berpetualang.
Ditanya satu soalan, Radzi berharap novel pertamanya ini dapat diterima oleh semua pihak,bukan sahaja mereka yang meminati sejarah tetapi juga khalayak yang cenderung kepada genre novel.
Katanya, beliau maklum dengan perkembangan terkini dimana novel remaja semakin membanjiri pasaran, yang disifatkan sebagai sesuatu yang membanggakan.

..........................

Apapun, berbagai kelemahan yang melanda buku BKA I telah berjaya diatasi dalam membuat BKA II. Cetakannya ternyata lebih cantik, tiada lagi masalah graphics yang menganggu proses pembacaan... Jumlah font juga telah dikurangkan lalu isi buku kelihatan lebih teratur dan menyenangkan mata... Dan paling utama, design kulit buku kali ini jauh lebih menarik sehingga seorang rakan yang sudah lebih 20 tahun berkecimpung dalam dunia lukisan dan art terus terpesona melihatnya. 'Ulasan' ringkas daripadanya: "Cover yang ini memang class!".
Rasanya cukuplah luahan ini. Diharap pembaca faham akan penat-jerih menerbitkan siri buku "Berpetualang ke Aceh"... Maka itu harap faham juga kenapa posting kebelakangan ini lebih bersifat promosi. Ternyata ia perlu untuk memastikan segala usaha yang dibuat selama ini berbaloi lebih-lebih lagi apabila menjadi penulis dan penerbit solo seperti saya yang dibelenggu pelbagai rintangan dan masalah.
Oh... Di sini, saya tergerak sekali lagi untuk mengucapkan terima-kasih kepada pihak Perpustakaan Negara yang memungkinkan saya terus berkarya. Nak tahu cerita berkaitan, boleh klik di sini... Susah-payah satu perjuangan. Sekian!