Jumaat, Ogos 14, 2009

Dayah / Pesantren / Sekolah pondok Tanoh Abee... dan perpustakaan lebih 300 kitab lama!

Dari Masjid Indrapuri dan kompleks makam Teungku Chik di Tiro, kita beralih ke Tanoh Abee sekitar 42 km ke selatan atau tenggara Banda Aceh...


Apa ada di sini? Nanti sikit-sikit kita kasi tahu. Sebelum itu, sila lihat cerita perjalanan dan gambar-gambar yang terpapar dalam artikel On to Tanoh Abee... so what exists over there? di blogspot BERPETUALANG KE ACEH .


Untuk pengetahuan, di sini terdapat salah satu dayah paling terkemuka di Aceh. Apa itu dayah? Dayah adalah bahasa Aceh untuk sekolah atau institusi pondok pengajian agama, juga dipanggil pesantren dalam bahasa Indonesia. Ingat. Dayah ya, bukan serbuk pencuci Daia atau Ultraman Daia. Heh! :]



Selalunya institusi-institusi sebegini dapat dikaitkan dengan para ulamak besar bertaraf wali...


Dan Dayah Tanoh Abee memang bukan sembarangan tempat. Ia dibuka oleh seorang ulamak besar dahulukala yang merupakan putra seorang hakim dari Baghdad beberapa ratus tahun lalu...


Biar dipaparkan artikel dalam website http://aliansisastrawanaceh.wordpress.com/ di Internet ini ya, katanya dari Harian Analisa, 22 Juli (Julai) 2002.

----------------

Perpustakaan Tanoh Abee yang terdapat di Desa Tanoh Abee, Kecamatan Seulimum, Kabapaten Aceh Besar. Menurut hasil penelitian Arkeologi Islam Indonesia, perpustakaan tersebut merupakan satu-satunya perpustakaan Islam tertua di Nusantara, bahkan termasuk perpustakaan Islam yang paling tua di Asia Tenggara.

CIKAL

Keberadaan perpustakaan Tanoh Abee ini tak terlepas dari sejarah pendirian sebuah pesantren (dayah) yang dibangun oleh ulama asal negeri Baghdad, bernama Fairus Al-Baghdady yang datang ke Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M).

Fairus hijrah ke Aceh waktu itu bersama 7 saudaranya. Empat orang, termasuk Fairus menetap di wilayah Aceh Besar. Tiga saudara lainnya menyebar ke Pidie dan Aceh Utara.

Diperkirakan Fairus Al-Baghdady inilah sebagai ulama yang mula-mula membangun pesantren (dayah) tersebut, yang kemudian dikenal dengan pesantren Tanoh Aceh sebagai cikal-bakal dari perpustakaan kuno Tanoh Abee sekarang ini.

Karena di dalam pesantren tersebut tersimpan ribuan kitab tulisan tangan karya para ulama Aceh terdahulu.

PEWARIS

Perpustakaan yang terletak di kaki gunung Seulawah yang berjarak sekitar 42 km ke arah Timur Kota Banda Aceh, atau sekitar 7 km ke pedalaman sebelah Utara ibukota Kecamatan Seulimum ini, dikelola secara turun temurun sejak 600 tahun lalu.

Mulai dari pendirinya Syeh Fairus Al-Baghdady pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, diteruskan oleh seorang anaknya bernama Syeh Nayan. Kemudian Syeh Nayan ini mewariskan kembali perpustakaan tersebut sekaligus pesantrennya bernama Syeh Abdul Hafidh.

Selanjutnya beralih ke tangan Syeh Abdurrahim, yang menurut catatan sejarah, Syeh Abdurrahim termasuk pewaris pesantren Tanoh Abee yang sangat banyak mengumpulkan naskah-naskah kuno untuk menjadi koleksi perpustakaan.

Dari Syeh Abdurrahim perpustakaan dan pesantren ini diwarisi oleh Syeh Muhammad Saleh. Diteruskan oleh anaknya Syeh Abdul Wahab. Kemudian Syeh Muhammad Sa’id.

Dari Muhammad Sa’id pesantren ini diurus oleh Teungku Muhammad Ali, hingga kemudian jatuh kepada pewaris terakhir sekarang ini, yaitu Al-Fairusy, sebagai pewaris urutan ke-9.

DISALIN

Dari pewaris terakhir inilah penulis memperoleh sejumlah keterangan tentang sejarah dan keberadaan perpustakaan kuno Tanoh Abee.

Dari 9 orang keturunan yang mewariskan perpustakaan ini, yang menonjol kemajuannya adalah pada masa kepemimpinan Syeh Abdul Wahab (pewaris ke-6).

Syeh Abdul Wahab inilah yang kemudian dikenal sebagai ulama besar yang berpengaruh di Aceh dengan sebutan Teungku Chik Tanoh Abee.

Ketika pesantren Tanoh Abee berada di bawah kepemimpinannya, hampir seluruh perhatian Syeh Abdul Wahab dicurahkan untuk memajukan perpustakaan. Ia sangat berminat agar perpustakaan pesantren Tanoh Abee menjadi sebuah perpustakaan Islam terbesar di Nusantara, dan bahkan dapat menjadi perpustakaan Islam terbesar di Asia Tenggara.

Untuk mengujudkan cita-cita itu, Syeh Abdul Wahab menyalin ribuan kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawi dari berbagai ilmu pengetahuan untuk menjadi perbendaharaan perpustakaan Tanoh Abee.

Hal yang menyedihkan ketika ulama Nuruddin Ar-Raniry memusnahkan kitab-kitab karya ulama Sufi terbesar di Aceh, yaitu Syeh Hamzah Fansuri, karena ajarannya dianggap “sesat” oleh Nuruddin Ar-Raniry.

Orang memperkirakan dengan kejadian itu semua kitab Hamzah Fansuri telah habis dibakar saat itu. Ternyata sebahagian besar kitab-kitab dari karya Hamzah Fansuri yang ditulis tangan masih sempat diselamatkan di perpustakaan Tanoh Abee hingga sekarang ini.

RUSAK

Sejumlah naskah kuno, kitab hasil karangan para ulama Aceh terdahulu, hingga akhir abad ke-18 diperkirakan sekitar 10.000 buah naskah (tulis tangan) tersimpan di perpustakaan ini.
Namun dalam perjalanan waktu naskah-naskah tersebut banyak yang lapuk dan rusak akibat tidak mendapat perawatan sebagaimana mestinya.

Selain itu, naskah-naskah tersebut juga banyak yang dimusnahkan dan dicuri oleh Belanda ketika mereka masuk ke Tanoh Abee waktu itu.

Kini menurut cerita Tgk. M. Dahlan Al Fairusy selaku pimpinan pesantren sekaligus pengelola perpustakaan kuno Tanoh Abee ini, jumlah kitab yang masih tersisa di perpustakaan ini sekitar 3.000 naskah lagi. Sebagian disimpan di pesantren dan sebagian lagi tersimpan di rumah Tgk. Dahlan agar tidak sampai hilang.

[H.Harun Keuchik Leumiek]


Oh. Satu sahaja komen dari saya tentang artikel ini. Ada satu ayat tersilap sebut iaitu perpustakaan di sini telah berdiri sejak 600 tahun lalu. Silap kira tu kerana Sheikh Fairus mendirikannya pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), maka lebih tepat mengatakan ia telah berdiri sekitar 400 tahun gitu...

OK. Saya dan isteri datang bersama pemandu ke sini atas cadangan kenalan kami Kak Ann yang membiayai perjalanan dan penginapan kami di Aceh (lihat artikel pembukaan Sampai ke Aceh setelah 5 tahun 5 bulan menunggu! Rupa-rupanya ada faktor 131 di sini... ). Adapun Kak Ann ini selalu mengunjungi dayah-dayah dan para ulamak di Aceh dan selalu memberikan sumbangan. Maka itu kami disambut baik oleh waris-waris utama keluarga ulamak yang membuka dan menjaga tempat ini. Sambil minum petang di kediaman, kami diberi kesempatan untuk melihat kitab-kitab mereka yang dikira paling berharga lalu tidak pernah dipaparkan pada mana-mana orang biasa...




Kemudian baru kami keluar dan melihat kawasan sekitar seperti pondok-pondok mengaji dan suluk...



Sebuah surau berdekatan kediaman keluarga pengasas...



Yang ini kalau tak salah bangunan makam keluarga terdekat pengasas dan keturunannya, mereka-mereka yang mewarisi kepimpinan juga kekhalifan dayah ini. Oh, baru teringat. Tadi di kediaman, kami diberitahu bahawa di Tanoh Abee ini mereka berkelayakan untuk mengijazahkan zikir serta amalan beberapa jenis tarikat termasuk Naqshabandiah, Qadiriyah dan Shadziliah!







Yang ini memang makam-makam tetapi apakah ia terletak di dalam bangunan yang kelihatan atas tadi, saya pun tak ingat. Maklumlah gambar-gambar ini diambil lebih sebulan lalu dan tidak ditanda apa-apa kecuali jika ada maklumat tertera dalam gambar. Selain itu saya cuma mengharapkan ingatan dan gerak yang timbul apabila melihat sesuatu gambar... yang pasti ia memang makam-makam para pemimpin terdahulu dayah ini.



Sebagai sebuah institusi pondok yang telah berdiri kukuh beberapa ratus tahun lamanya, Dayah Tanoh Abee tentu memiliki banyak bangunan walaupun daripada kayu...













Sampai ke satu bangunan tertentu saya pun masuk ke dalam.




Ini kelihatan seperti ruang suluk istimewa...





Terdapat pula banyak koleksi kitab di satu bahagian...






Saya membuka sebuah pintu melintang. Apakah ini satu tempat suluk istimewa untuk mengingati alam mati? Kalau ya, saya tidak terperanjat. Saya pernah masuk seorang diri dan duduk (sebenarnya berbaring sisi seperti mayat) di dalam lubang suluk gelap gelita seperti kubur atau liang lahad yang terletak berdekat masjid dan makam Tok Selehor di Kelantan (lihat artikel lama "Mematikan diri" di makam Tok Selehor...) juga di hadapan Masjid Sungai Cincin di sekitar Gombak, Selangor (lihat artikel lama Masjid (mosque of) Sungai Cincin dan (and) Sheikh Muhammad Nur di blogspot SENI LAMA MELAYU (MALAY OLDEN ART) ).




Malah semasa melihat isi di dalam inipun saya masih menyangkakan ia tempat suluk istimewa. Memang sangat istimewa kerana rupa-rupanya ia adalah tempat bersuluk orang yang sudah mati! Untuk pengetahuan di dalam ini juga terdapat makam para khalifah Dayah Tanoh Abee, saya tak pasti yang mana. Mungkin Sheikh Fairus sendiri?



Kemudian saya menaiki bangunan atau pondok ini pula...




Saya amat tertarik dengan gambar-gambar serta ilustrasi @ lakaran tokoh-tokoh besar yang ada...




Paling istimewa adalah ini, katanya Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam, raja yang sering dicatatkan sebagai pemerintah terunggul Aceh sepanjang zaman. Salam sejahtera dan menjunjung kasih nenda. Allahuma solli ala Muhammad wa ala ali Muhammad... :]


4 ulasan:

  1. salam tuan radzi,tuan ada kaitan ke ngan abu tanoh abee?dikatakan beliau bukanlah menerima tarikat shatariah dari sanad syeikh syiah kuala...jad mcm mana ye?

    BalasPadam
  2. Banyak jawapan yg saya perolehi bila mengikuti blogspot En. Radzi ini. Ribuan terima kasih. Cuma ingin mengetahui sama ada En Radzi ini ada kaitan ker dgn Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam? Kerana ada iras2 dgn En. Radzi....

    BalasPadam
  3. Wassalam.

    Untuk Musafir, saya pun tak tahu cerita bab ijazah Shatariah tu. Dan setakat saya tahu tak da pula kaitan saya dengan Abu Tanah Abe kecuali kemungkinan moyang berpuluh generasi atas bertemu nasab jua. Namun saya difahamkan Abu Tanoh Abe yang mula pun sudah cukup berwibawa membawa kelayakan mengajar berbagai tariqat sejak datang dari Baghdad lagi, tidak perlu merujuk kepada Syiah Kuala. Lalu itulah yang diijazahkan kepada anak cucunya turun-temurun, tak tahu le kalau mereka betul2 bawa.

    Untuk Anonymous... hmm... tak tau nak jawab camana. Kalau kata ya takut ada yang kata berbangga atau mahu membuat pengakuan palsu. Kalau menidakkan pula seperti menafikan darah-daging sendiri.

    BalasPadam