Jumaat, Ogos 14, 2009

Mengenang Teungku Chik di Tiro dan perjuangan Aceh melawan penjajah... terlihat makam kerabat di tepian jalan

Dari Masjid Indrapuri, kami bergerak sekitar 5 km selatan ke kompleks makam ulamak dan pejuang terkenal Teungku Chik di Tiro...

Siapakah Teungku Chik di Tiro? Sila lihat artikel Makam (tomb of) Teungku Chik di Tiro yang baru dibuat di blogspot SENI LAMA MELAYU (MALAY OLDEN ART) tadi ...




Di luar kompleks makam, betul-betul berhadapan makam terlihat pula pokok berbentuk pelik ini...


Saya terus teringat pokok Beruas, sejenis pokok manggis hutan. Apakah ini pokok Beruas? Saya pun tak tahu. Tetapi bentuknya kelihatan seakan-akan sama. Yang saya tahu, setiap kali teringat nama Beruas, saya mesti mengaitkannya dengan kisah cucu Sultan Malikus Salih iaitu Sultan Malikul Mansur yang diturunkan daripada takhta kerajaan Samudera kerana mengambil seorang perempuan dari istana kekandanya Sultan Malikul Mahmud yang memerintah Pasai.

Sebuah cerita lama Beruas menyebut, Sultan Malikul Mansur yang dibuang negeri pernah singgah di Perak di mana baginda berehat di bawah pokok Beruas. Maka itu baginda mendirikan sebuah kerajaan baru yang dipanggil Beruas. Kali pertama saya mengenali pokok Beruas adalah di sekitar pantai Pasir Panjang berdekatan Segari, Perak. Sila lihat artikel lama The origin of the name Beruas. di blogspot BERPETUALANG KE ACEH.



Dalam kawasan kompleks bersebelahan makam, terdapat pondok kayu ini...



OK. Sebenarnya saya sudah terlupa apakah pondok tadi yang saya naiki atau ada sebuah pondok lagi. Yang pasti saya tertarik dengan gambar-gambar yang terdapat di pondok itu...




Ini katanya adalah ilustrasi atau lukisan pemilik makam iaitu Teungku Chik di Tiro, atau nama sebenarnya Sheikh Muhammad Saman.



Turut terdapat adalah gambar ini, katanya Teungku Chik di Tiro juga tetapi yang bernama Teungku Umar. Rupa-rupanya nama Teungku Chik di Tiro itu adalah satu gelaran ulamak besar daerah yang boleh dipakai turun-temurun dalam satu keluarga!

Semasa baginda diturunkan takhta, Sultan Muhammad Daud telah mengamanahkan agar perjuangan membebaskan Aceh diteruskan oleh ulamak terkenal Teungku Chik di Tiro. Kebetulan makam ulamak ini terletak tidak jauh dari Indrapuri, maka ke situlah kami seterusnya dan ini akan diceritakan nanti.

Adapun saya membuat kenyataan di atas ini berdasarkan cerita-cerita tentang Teungku Chik di Tiro yang saya dengar selama ini terutama daripada tulisan-tulisan yang pro pihak GAM (Gerakan Aceh Merdeka yang kini bergerak secara sah sebagai parti politik Partai Aceh). Sering disebut bahawa disebabkan Sultan Muhammad Daud mengamanahkan perjuangan melawan Belanda agar diteruskan oleh Teungku Chik di Tiro lah maka itu seorang anak cucu keluarga itu, Teungku Hassan Chik di Tiro yang menjadi pemerintah tertinggi GAM layak memegang Aceh sebagai Sultan akan datang...

Pada saya keluarga di Tiro ini setakat memegang amanah menjadi wali negara atau penjaga Aceh sementara waris paling afdal berketurunan Sultan belum muncul, bukan untuk terus menggantikan Sultan. Apapun, baru siang tadi, setelah membuat sedikit research, saya dapat tahu bahawa Teungku Chik di Tiro yang paling banyak berperanan melawan Belanda iaitu Teungku Chik di Tiro Sheikh Muhammad Saman meninggal dunia tahun 1891 sedangkan Sultan Muhammad Daud dipaksa turun takhta 1903. Maka itu, jika betul pun Sultan ada mengamanahkan penjagaan negeri Aceh kepada Teungku Chik di Tiro, ia mesti kepada Teungku Chik yang kemudian, bukan Sheikh Muhammad Saman.




Pandangan dari dalam kompleks makam ke kampung di luar. Di sini biar saya copy and paste sedikit maklumat tentang Teungku Chik di Tiro Sheikh Muhammad Saman yang diambil dari Wikipedia ya...
---------------


Teungku Chik di Tiro (Bahasa Aceh, artinya Imam ulama di daerah Tiro) atau Muhammad Saman (Tiro, Pidie, 1836Aneuk Galong, Januari 1891), adalah seorang pahlawan nasional dari Aceh.

Teungku Muhammad Saman adalah putra dari Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah, putri Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada tahun 1836, bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro, daerah Pidie, Aceh. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat.

Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme. Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Muhammad Saman sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian kebih dikenal dengan Perang Sabil.

Dengan Perang Sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukannya. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Muhammad Saman dapat merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda merasa kewalahan akhirnya memakai "siasat liuk" dengan mengirim makanan yang sudah dibubuhi racun. Tanpa curiga sedikitpun ia memakannya, dan akhirnya Muhammad Saman meninggal pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong.

Salah satu cucunya adalah Hasan di Tiro, pendiri dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka.[1]





Dari kompleks makam kami keluar balik melalui jalan kampung yang diambil untuk sampai ke makam tadi.



Ada beberapa rumah tradisional kampung yang terukir cantik sepanjang jalan. Sila lihat gambar-gambar lain pada artikel Aceh rural views around Indrapuri di blogspot BERPETUALANG KE ACEH .





Ada pula kilang papan. Apakah kayu-kayu ini yang digunakan untuk membuat rumah di sekitar?





Dalam perjalanan keluar dari kampung sekitar ini, baru saya tersedar akan kewujudan beberapa makam lama di tepian jalan...





Kalau tak salah, letaknya cuma 1-2 km sahaja dari kompleks makam Teungku Chik di Tiro pada satu puncak bukit yang dilalui jalan...





Bentuk batu nesan menandakan ia milik ahli kerabat diraja kalau tidak raja sendiri!




Cuma kelihatannya ia tidak terjaga, mungkin kerana orang tidak menyedari kepentingannya atau tidak tahu ia milik siapa.





Saya pula sanggup berhenti lalu keluar dari kereta untuk melihat lebih dekat. Nasib baik isteri saya menyedari tentang kewujudan makam-makam ini lalu menunjukkan kepada saya. Syukur Alhamdulillah, Allah SWT memberi saya seorang isteri yang dapat mengingatkan saya pelbagai perkara apabila saya sendiri terlepas pandang. Malah kadangkala pula, ada tanda-tanda ghaib termasuk melalui mimpi yang disampaikan kepada saya melalui isteri...


Cerita perjalanan hari Selasa di Aceh ini akan disambung dengan lawatan ke sebuah pesantren (dipanggil dayah di Aceh) atau institusi pondok di Tanoh Abee. Sebelum itu biar diletak gambar-gambar cantik persekitaran kampung dalam perjalanan di blogspot BERPETUALANG KE ACEH. Perhatikannya sebentar lagi...



Tiada ulasan:

Catat Ulasan